Saturday, July 6, 2013

@

~~ sabar itu tidak ada batasnya.. sabar itu bukan berarti pura-pura tersenyum di atas penderitaan, membiarkan diri kalah dan tertindas. tapi, sabar itu adalah sebuah konsistensi diri, keahlian untuk mengendalikan emosi negatif dan kemampuan untuk menerima berbagai situasi buruk dengan pikiran sehat, tanpa tekanan ~~

Friday, July 5, 2013

Diantara Dua Wajah

Sejujurnya, aku merasa ia terlalu berlebihan. Ia bukan siapa-siapa, tapi sikapnya melebihi ibu kandungku. Ia baik, sangat baik. Bahkan, terlalu baik. Aku memanggilnya Tante. Tentu saja, itu hanya sapaan akrabku padanya. Ia bukan adik Ayahku, juga bukan adik Ibuku. Tidak ada hubungan kekerabatan, tidak ada garis silsilah keluarga sama sekali. Ia hanya seorang perempuan keturunan Jawa Menado, rekan kerja Ayahku.
Aku kali pertama mengenalnya kira-kira tujuh tahun yang lalu. Saat itu, aku sedang menjalani akhir semester kuliah, sedang sibuk-sibuknya mengerjakan skripsi, nyaris seluruh waktuku habis di depan layar PC.
Sore itu, seperti biasa, aku mengurung diri di kamar. Aku tidak ingin diganggu. Tapi, tiba-tiba ada yang mengetuk-ketuk pintu kamarku dan memanggil-manggil namaku. Sebenarnya malas beranjak, namun kupastikan itu suara Ayah, ia memanggilku berkali-kali, terpaksa kubukakan pintu.

“sedang apa kau?” tanya Ayah.

“Sedang mengerjakan skripsi, Yah,” jawabku malas-malasan. “Tinggal dua bab lagi, jadi harus ngebut biar cepat selesai”

“Rapikan baju dan rambutmu,” ujarnya kemudian.

Aku menatapnya heran.

“Ada tamu, teman Ayah,” jawabnya. “Ayah ingin mengenalkannya padamu, sebentar saja. Semua sudah menunggu di ruang tamu”

“Kakak? Adik?” tanyaku memastikan.

“Iya, semua,” jawabnya cepat.

“Baiklah, tunggu sebentar, Yah”, Ayahpun berlalu.

Kututup pintu kamarku dan segera berdiri di depan kaca. Kulihat sekilas, hmm… berantakan sekali aku hari ini! Wajahku kusut, tampak lelah sekali. Rambutku kuikat di belakang kepala dengan poni kujepit ke atas. Aku tidak suka poniku berhamburan di dahiku sehingga menghalangi pandanganku. Tentu saja, itu mengganggu konsentrasiku. Lalu… Astaga! Tank top polkadot berwarna merah putih dan celana pendek khas Bali dengan corak bunga-bunga mekar berwarna biru! Secara keseluruhan, penampilanku hari ini buruk sekali! Kalau aku masuk rubrik mode di sebuah harian pagi, mungkin seluruh pengamat mode hari ini akan mengacungkan jempol terbalik untukku. Ow… owww… it’s so bad!
Segera kubuka lemariku, kupilih baju di tumpukan teratas. Itu baju yang paling licin, karena baru kusetrika. Sebuah t-shirt lengan panjang motif garis-garis warna warni. Ini untuk mengelabui mereka, biar aku terlihat lebih ceria. Lalu kuambil celana jeans pensil berwarna biru yang menggantung di cantolan baju belakang pintu. Segera kukenakan dan kembali kulihat pantulan gambar diriku di cermin. Oh! Jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi, ada yang kurang. Rambutku! Kulepas ikatannya juga jepit poniku. Kubiarkan rambutku yang panjang bergelombang jatuh terurai di bahu dan poninya menutupi sebagian dahiku. Lalu, kusapukan sedikit bedak tabur di wajah untuk mengurangi kilap di muka dan sedikit lip gloss warna pink natural di bibir mungilku. Kuamati sekali lagi, dari atas ke bawah. Sempurna!
Pintu kamarku kembali diketuk dan aku lebih dulu membukanya sebelum namaku dipanggil. Sudah ada Ayah di depan pintu dengan pandangan ganjil. Seolah matanya berbicara, hai lama sekali! Apa yang kau lakukan di dalam?! Ini bukan kencan pertamamu! Aku hanya memintamu untuk menemui temanku!
Aku mengekor di belakang Ayah, menuju ruang tamu. Benar, semua sudah berkumpul. Minuman dan makanan ringan juga sudah tersaji di meja. Ibu tampak sedang bercakap-cakap hangat dengan seorang perempuan. Mm… kuperkirakan usianya sekitar 40 tahun, 5 tahun di bawah Ibu. Perawakannya lumayan tinggi, kira-kira 165 cm, berkulit kuning, rambut lurus sebahu tanpa poni, bibir tipis, dan mata agak sipit. Awalnya kukira ia memiliki sepasang mata yang tajam, namun segera kuralat. Kupastikan itu bukan sorot mata tajam, tapi sorot mata keji. Ah! Tapi dugaanku terlalu berlebihan. Ia bukan pembunuh, juga bukan kanibal! Lalu, ada dua orang gadis kecil di sebelah perempuan itu.
Aku tersenyum padanya dan duduk di sebelah Ibu, di depan Ayah. Lalu, Ayah melirikku dan menggerakkan bola matanya ke arah perempuan itu. Aku mengerti isyaratnya, selalu begitu.
“Selamat sore…” sapaku sambil menjabat dan mencium tangannya.

Aku terbiasa mencium tangan orang yang usianya lebih tua dariku. Salim, begitu istilahnya, sudah menjadi adat ketimuran untuk menghormati orang yang lebih tua. Orang tuaku yang mengajarkannya padaku sejak kecil.

Ia menyambut tanganku dengan genggaman hangat.

“Cantik sekali,” pujinya sambil tersenyum.

“Terima kasih,” balasku. “Tante juga cantik”

Ups! Maaf, aku terpaksa berbohong. Sejujurnya, dia biasa saja, tidak terlalu cantik. Spontan kupanggil dia Tante, mungkin karena ia tampak belum terlalu tua.

“Ini Tante Tania, teman sekantor Ayah”, jelasnya. “Tadi ada keperluan di dekat sini. Jadi, Ayah mengajaknya mampir, mumpung besok libur”

Aku hanya mengangguk-angguk sambil tetap menjaga senyum sok ramah. Padahal, dalam hati, aku ingin mereka segera pergi dan melanjutkan mengerjakan skripsi.

“Ini anak-anak Tante Tania” Ayah menunjuk pada dua gadis cilik itu. “Kakaknya bernama Frederika, adiknya Margaret”

“Ooh manis-manis sekali”, aku terpaksa berbasa-basi. “Cantik seperti ibunya”

Heran, kenapa aku masih bisa berusaha bersikap ramah pada mereka. Padahal, aku tidak menginginkan mereka berlama-lama disini. Harusnya, aku bersikap ketus saja biar mereka merasa tidak diterima dan cepat-cepat pergi. Atau, aku pura-pura sakit agar bisa dengan leluasa minta ijin istirahat di kamar dan melanjutkan tugasku tanpa gangguan mereka.
Kuamati kakak dan adikku di kursi seberang meja. Kakak tampak tenang dan wajar saja. Memang sambutannya tidak terlalu ramah, tapi ia seperti tidak terganggu dengan keberadaan mereka. Kupastikan kakak menerima mereka, tidak ada tanda penolakan. Sedang Adik, sepertinya ia sependapat denganku. Wajahnya tidak terlalu bersahabat. Bahkan, beberapa kali kulihat ia melirik ke arah jam dinding dan memerosotkan badannya di kursi, pertanda bosan. Dan Ibu, tentu saja ia selalu ramah pada siapapun.

“Ayo, salim,” perintah Tante Tania pada kedua anaknya. “Tadi kan sudah kenalan sama kakak-kakak yang ganteng, sekarang kenalan sama kakak yang cantik”

Kedua bocah itu memandangku bersamaan, kemudian menghampiriku, menyalami dan mencium tanganku dengan terpaksa. Lalu, kembali duduk di samping Ibunya, seperti robot kecil.

Tante Tania beberapa kali melihat jam tangannya. Pertanda baik! Mungkin sebentar lagi ia akan pamit. Aku sudah tidak sabar menunggunya. Lelah rasanya, tempat duduk ini semakin panas saja! Aku ingin secepatnya beranjak, menghambur menuju kamar dan merebahkan badanku sejenak. Maklum, hampir seharian aku duduk di depan komputer.

“Sepertinya sudah sore,” ujar Tante Tania kemudian. “Sebaiknya saya permisi dulu, takut kemalaman.

Bagus! Batinku.

“Lho, kenapa buru-buru?” ujar Ibu berbasa-basi.

“Langsung pulang ke Surabaya?” tanya Ayah.

“Iya,” jawabnya. “Sebenarnya saya punya saudara yang rumahnya tidak jauh dari sini, tapi saya tidak enak. Takut mengganggu. Jadi, lebih baik langsung pulang saja”

“Kalau begitu, menginap disini saja!” kata Ayah.

Aku berpandangan dengan adik. Pikiran kami sama, kami tidak mau mereka disini.

“Iya, menginaplah disini, semalam saja,” tambah Ibu. “Sudah malam, lagipula besok kan libur”

Ooohh tidaaaak!! Basa basi Ibu keterlaluan! Tidur dimana mereka? Di rumah kami tidak ada kamar tamu. Kalau mereka bermalam, pasti mereka tidur di kamarku. Dan itu artinya, aku yang harus mengalah. Tidur semalam di depan televisi dengan kasur lipat. Huuhh!! Atau, mungkin kakak yang akan mengalah. Mungkin ia akan meminjamkan kamarnya padaku. Tapi, tetap saja! Lebih baik mereka segera pergi!

“Tidak usah, kami tidak ingin merepotkan,” ujar Tante Tania. “Kami permisi saja”

Betul! Memang seharusnya begitu. Awas saja kalau dia sampai menerima tawaran Ayah dan Ibu.

“Ah! Tidak apa, jangan sungkan-sungkan,” tegas Ayah sambil memberi isyarat mata pada Ibu. Lalu, ibu segera bergegas ke dalam dan kembali lagi beberapa menit kemudian.

“Saya sudah menyiapkan kamarnya, silahkan,” ujar Ibu.

Apa?! Aku berjalan menuju Ibu dan menarik lengannya perlahan.

“Jangan bilang, Ibu sudah merapikan kamarku,” bisikku.

“Memang sudah,” jawab Ibu. “Hanya semalam saja, mengalahlah. Kau tidak ingin membantah Ayah, kan?”

“Tapi, Bu…”

“Sudah…,” potong Ibu.
Aku membuka pintu kamarku dan kulihat memang sudah rapi. Tapi??

“Ibu??!!” teriakku setengah histeris. “Dimana Ibu simpan kertas-kertas yang berserakan di lantai tadi?”

Ibu mengacungkan jari telunjuk di bibirnya. Itu artinya, ia menyuruhku diam.

“Ibu tidak membuangnya, kan?” tanyaku lirih.

“Tentu saja tidak!” Ibu menunjuk tumpukan kertas di meja komputer.

‘Seharusnya Ibu tidak perlu membereskan kertas-kertas itu!” sahutku kesal. “Kenapa tidak bertanya dulu? Biar kubereskan sendiri, Bu”

“Ah! Terlalu lama,” jawab Ibu.

“Tapi itu kertas-kertas yang halamannya sudah kuurutkan, Bu..!” jeritku. “Pasti Ibu hanya menumpuknya saja tanpa memperhatikan urutannya!”

Aku hampir saja menangis karena kesal.

“Ibu mempersulit pekerjaanku, Ibu menghancurkan tugasku!” hampir saja aku meluapkan emosiku pada Ibu, namun kudengar suara Ayah semakin mendekat.

“Silahkan,” ucap Ayah.

Tante Tania dan kedua anaknya sudah di depan pintu kamarku dengan membawa serta barang-barangnya. Aku terpaksa mengalah.

@@@

Sudah lama sekali aku tidak pernah bertemu dengan Tante Tania, sejak pertemuan pertama dulu. Sejak ia menggusurku semalaman dari kamarku dan membuatku harus bekerja ekstra keras! Mengurutkan halaman tugasku, lebih dari 300 halaman, bayangkan! Ia membuatku pusing. Memang itu salah Ibu, tapi ia penyebabnya!
Aneh. Sikap Ayah terlalu berlebihan. Ibu juga. Ia selalu membela Ayah. Kenapa harus selalu bersikap hormat dan super ramah? Padahal Tante Tania bukan siapa-siapa. Harusnya diperlakukan sewajarnya saja, seperti tamu-tamu lainnya.
Beberapa kali ia mampir ke rumah, selalu dengan kedua anaknya. Pernah sekali, ia mampir dengan Om Danu, suaminya. Tak ada yang penting, hanya mampir saja, kata Ibu. Tapi, aku selalu menghindar, selalu ada alasan untuk tidak bertemu muka dengan mereka. Kadang, aku pamit hendak berangkat kuliah. Padahal, sebenarnya aku hanya pergi bermain ke rumah temanku. Setiap kali mampir, ia selalu membawa bingkisan. Paling sering, ia bawakan parcel buah atau roti Breadtalk aneka rasa. Bahkan, ia pernah membelikan baju untukku dan Ibu. Enak juga sih! Jujur, aku hanya menyukai oleh-olehnya. Jahat memang.
Tapi, harus bagaimana lagi? Aku tidak bisa berbasa-basi, terlebih dengan kedua anaknya. Ayah selalu memintaku untuk mengasuh kedua anak itu dan mengajaknya bermain. Padahal, bocah-bocah itu sudah bukan balita lagi, meskipun juga belum bisa dibilang dewasa. Mereka masih SD. Lalu, aku harus menemani mereka dengan cara apa?! Aku tidak suka anak-anak, apalagi anak Tante Tania.
Entah kenapa, aku selalu mencurigai Tante Tania. Aku merasa, ia bukan orang baik-baik. Tapi, kenapa kedua orang tuaku selalu menyambutnya dengan hangat? Bahkan, mereka sudah menganggap Tante Tania seperti saudara. Payah! Apa mereka tidak menangkap isyarat yang sama denganku? Kenapa hanya aku yang merasakannya? Atau, ini hanya kebencian yang tidak beralasan? Hanya karena ia pernah mengganggu tugas skripsiku waktu itu, lalu aku membencinya seumur hidup? Begitukah? Memang, banyak yang bilang, mahasiswa semester akhir itu sensi, seperti perempuan yang sedang datang bulan. Mungkin, aku salah satunya.

@@@

Akhirnya, aku lulus kuliah dan diterima bekerja pada salah satu perusahaan swasta, sebuah cabang perusahaan farmasi di kotaku, sebagai staff administrasi. Memang gajinya tidak terlalu besar, tapi lumayan. Kuputuskan untuk menjalaninya saja, itung-itung cari pengalaman kerja sambil mencari pekerjaan yang lebih baik.
Tante Tania sudah jarang mampir ke rumah, mungkin sedang sibuk. Tapi aneh, kenapa sekarang justru aku yang mencarinya? Padahal dulu aku selalu menghindarinya. Mungkin karena sekarang emosiku sudah mulai stabil, sehingga aku bisa berpikir jernih dan mulai merasa bersalah karena sudah bersikap kekanak-kanakan padanya, selama ini.
Aku hanya bertahan kira-kira satu tahun bekerja dan segera kuniatkan untuk resign saja! Pekerjaannya membosankan, terlebih gajinya terlampau kecil. Tidak sebanding dengan gelarku. Apalagi, perusahaan ini lumayan ruwet, banyak kecurangan, permainan uang, dan perselingkuhan antar karyawan. Lingkungan kerja yang tidak aman untukku.
Aku mulai melamar ke beberapa perusahaan. Kali ini, aku ingin mencoba peruntungan di luar kota. Kupilih Surabaya, dengan pertimbangan jarak, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dari kota tempat tinggalku.
Sampai pada suatu saat, aku mendapat panggilan kerja dari beberapa perusahaan di Surabaya. Agak bingung juga, karena aku masih buta dengan kota Surabaya. Aku tidak hapal jalan di sana. Untung Ayah membantuku. Ia bilang, telah meminta temannya untuk menjemputku di terminal dan mengantar sampai tujuan. Akhirnya bisa bernapas lega.
Pagi-pagi sekali aku sudah berada di atas bus patas. Agak mual selama dalam perjalanan, mabuk kendaraan. Lalu kuputuskan untuk tidur saja. Sesampainya di terminal, aku turun dari bus dengan pandangan meyebar, mencari-cari apakah ada yang mengenaliku. Dimana teman Ayah? Dan siapa? Lalu seseorang memanggil namaku dan kuputar leherku ke arahnya.

“Apa kabar?,” Tante Tania menyalamiku dan ia mempertemukan kedua pipinya dengan pipiku, bergantian kanan dan kiri.

“Baik, Tante,” jawabku gugup setengah kaget.

Orang yang selama ini kubenci ternyata justru menolongku! Astaga, malunya aku!

“Bagaimana kabar Tante dan adik-adik?” tanyaku.

“Alhamdulillah…”

Ia merangkul bahuku, mengajakku segera beranjak dari tempat itu, menuju tempat parkir motor. Sudah ada sebuah motor disana, lengkap dengan dua helm dan ia juga telah menyediakan jaket untukku. Tak lama kemudian, ia bersiap mengantarku ke tempat tujuan. Kutunjukkan sebaris alamat yang kutulis rapi pada secarik kertas. Ia mengangguk tanda mengerti, aku duduk dibelakangnya, dan ia segera mengendarai motornya dengan cepat.
Ia benar-benar tangguh di jalan. Ia menguasai jalanan dan aku merasa aman bersamanya. Beberapa menit kemudian, sampailah di tempat tujuan.

“Hubungi Tante kalau sudah selesai,” katanya padaku. “Tante akan menjemputmu dan mengantarmu pulang”

Aku mengangguk dan tersenyum, tak lupa kuucapkan terima kasih padanya.

Kira-kira 2 jam kemudian, selesai sudah interviewnya. Kutelpon dia. Tidak lama kemudian ia sudah berada di depanku, pasti ngebut. Ia mengajakku makan dan mengantarku menuju terminal, pulang.
Sejak saat itu, hubungan kami menjadi dekat. Berkali-kali aku menerima panggilan kerja di Surabaya, ia selalu mengantar jemput dan menjagaku. Aku tidak pernah memintanya, tapi ia yang memaksa untuk membantuku. Ya, sudah lah.
Sampai akhirnya, aku diterima bekerja pada sebuah Rumah Sakit berstandart internasional di Surabaya. Aku lega, karena sudah tidak merepotkan Tante Tania lagi. Tapi, aku masih menjalin hubungan baik dengannya. Ia sudah kuanggap seperti ibuku, ibu kedua setelah ibu kandungku. Bahkan, kadang aku suka berkhayal bodoh. Aku suka membayangkan seandainya Tante Tania benar-benar ibuku. Alangkah senangnya!
Aku menyesal pernah berlaku buruk padanya dan ternyata dugaanku tidak terbukti, ia orang baik. Aku mengagumi Tante Tania. Ia perempuan yang perkasa. Ia merawat kedua anaknya dengan baik dan tetap bersikap tenang di hadapan semua orang. Padahal, rumah tangganya sedang di ujung tanduk. Ia bercerita padaku, suaminya sudah tidak peduli lagi padanya, juga pada kedua anaknya. Ia terpaksa harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan menghidupi kedua anaknya. Hidupnya begitu berat, namun ia masih sempat meluangkan waktu untuk membantuku. Ia juga selalu melindungiku, menjagaku seperti anaknya kandungnya sendiri. bahkan, bisa dibilang, ia terlalu over protective padaku.
Jauh berbeda dengan Ibu. Ibu hanya perempuan biasa, ibu rumah tangga. Tidak tegas dan lemah. Saat berada di luar rumah, justru aku yang selalu menjaganya. Ia selalu bertengkar dengan Ayah. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk bertahan diri. Ia selalu mengalah dan bersikap tegar di depan Ayah, tapi selalu menangis diam-diam tanpa sepengetahuan Ayah. Sejujurnya, aku ingin memiliki ibu setangguh Tante Tania.

@@@

Sepulang bekerja, aku tidak sengaja berpapasan dengan Ny. Linggar, di pintu keluar Rumah Sakit. Ia hendak menemui dokter spesialis obgyn, berkaitan dengan ditemukannya benjolan kecil pada ovariumnya. Ia tampak terburu-buru, hampir saja ia tidak melihatku kalau aku tidak menyapanya.
Ny. Linggar sudah lama kukenal. Ia salah satu rekan kerja Ayah, teman Tante Tania juga.

“Atiqa!” ujarnya girang saat melihatku.

Lalu, ia segera mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam tasnya dan memberikannya padaku.

“Ini HP Tante Tania, aku menemukannya tertinggal di toilet kantor,” ujarnya cepat. “Sebentar lagi, ia akan kesini untuk mengambilnya, tapi aku sedang buru-buru. dr. Desak sudah menungguku, aku terlambat 20 menit”

Aku mengerti maksudnya.

“Kau tidak keberatan kan, kalau aku menitipkannya padamu? Tunggulah sebentar saja,” katanya. “Tante Tania sedang dalam perjalanan. Kau tidak sedang tergesa-gesa, kan?”

“Oh, tentu tidak,” jawabku. “Tidak apa”

“Tunggulah disana” ia menunjuk barisan kursi tunggu di depan ruang CT Scan, tepat di sebelah kanan, kira-kira 5 meter dari pintu keluar. “Aku sudah terlanjur mengatakan padanya akan menunggu disana”

Aku mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih padaku dan segera berjalan cepat menuju lift.

Aku duduk sendiri, menunggu Tante Tania. Ponselnya masih kugenggam. Berkali-kali berdering, kulihat nama di layar ponselnya, Sisca. Hmm… pasti temannya. Kudiamkan saja. Tapi, ponselnya terus bergetar. Mungkin penting sekali. Lalu, kuberanikan untuk mengangkatnya.

Honey… dari mana saja kau?” ternyata seorang pria! Suaranya terdengar cepat dan gelisah.

Aku hendak mengatakan, maaf aku bukan Tania. Aku menemukan ponselnya tertinggal dan dia sedang dalam perjalanan untuk mengambilnya. Tapi, orang itu menyahut lebih dulu.

“Dari tadi aku menghubungimu tak ada jawaban,” ujarnya sedikit kesal. “Kau selalu membuatku khawatir”

Tiba-tiba saja bibirku terkunci. Aku sedang berpikir, suara pria itu tidak asing bagiku, tidak mungkin salah. Tapi, benarkah?? Ia memanggil Tante Tania dengan sebutan Honey?!
Suara itu terus berbicara tapi aku tidak mendengarnya lagi. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri dan segera kutekan tombol end, kuakhiri tanpa permisi.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Kubuka menu contacts pada ponselnya, kucari nama Sisca. Lalu, kutekan more – open contact. Kutemukan sebuah nomer yang sangat kukenal, tidak salah lagi.
Ponselnya bergetar pendek, sebuah sms masuk, dari Sisca lagi. Langsung kubuka tanpa ijin.

Honey? Kenapa tiba-tiba mematikan telponnya? Kau sedang bersama Danu? Apa kau baik-baik saja? Seharian tadi aku tidak melihatmu di kantor. Oh ya, aku senang membaca smsmu semalam, tentang Atiqa. Akhirnya, ia bisa menerimamu. Ia anak yang keras kepala, kau harus bersabar”

Kutekan tombol back dan langsung terkunci otomatis.

Suara ketukan berirama di lantai terdengar begitu nyaring. Seorang perempuan dengan sepatu bertumit tinggi baru saja datang. Ia agak terkejut melihatku, lalu ia tersenyum dan melambai padaku. Ia berjalan ke arahku.

Astaga!!! Harus bagaimana sekarang?!

Cepat pergi! Yah, pura-pura tidak melihatnya dan langsung pergi saja!

Tapi, bagaimana dengan ponselnya? Atau kutinggalkan saja disini?! Tapi ia telah melihatku, dan aku juga jelas-jelas telah melihatnya, aku tidak mungkin menghindar.
Lalu bagaimana?? Terus terang saja! Ya, bilang saja, maaf aku tidak sengaja membuka ponselmu, dari tadi ponselmu berdering dan aku hanya ingin mengatakan padanya bahwa ponselmu tertinggal. Tapi, aku menemukan ini. Bisakah kau jelaskan padaku apa arti dari semua ini?

Aahh!! Bijaksana sekali!!!

Tidak bisa! Tidak mungkin bisa! Ini tidak termaafkan!

Dia yang bersalah, kenapa harus aku yang bingung bagaimana harus bersikap? Sudah sepantasnya kalau aku marah! Ya, betul sekali! Untuk apa ditahan-tahan lagi?! Aku akan langsung memakinya di hadapan semua orang.

Brengsek! Sialan!

Perempuan jalang!

Perempuan perebut suami orang!

Pembohong!!! Aku benci! Benciii!!!

Aku tidak ingin melihatmu lagi! Aku muak melihat muka busukmu. Pergi dari sini!
Lalu kudorong saja dia hingga jatuh tersungkur menciun kakiku dan segera kutinggal pergi. Tapi, apa aku harus berlaku serendah itu? Aku memang marah, sangat marah.
Langkahnya semakin mendekatiku, dan aku masih belum bisa menentukan sikap.

“Hai, cantik,” sapanya. Ia sudah berada di hadapanku. “Apa kau melihat Ny. Linggar?”

“Ya”, jawabku cepat.

Aku berusaha tetap tenang.

“Ia menitipkannya padaku” kuserahkan ponsel itu padanya. Ia tersenyum tanpa dosa dan mengucapkan banyak terima kasih padaku.

“Maaf, aku tergesa-gesa” aku beranjak dari tempat duduk.

Ia meraih tanganku, menjabat tanganku dengan erat. Ia terus menggenggam tanganku, menunggu sesuatu. Ya, tentu saja! Ia menunggu aku mencium tangannya, salim, seperti biasa. Tapi, tidak kulakukan. Tidak lagi.

Aku tersenyum tanpa paksaan, semua benciku terasa sirna, emosiku mereda dalam sekejap. Aku melepas genggaman tanganku darinya, lalu meninggalkannya tanpa penjelasan, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku tidak percaya bisa melakukannya.


Monday, November 15, 2010

Aku seperti poci teh yang tidak bisa bernyanyi, dengan mulut bulat yang kecil dan sempit, tak banyak air yang bisa kutumpahkan. Aku hanya bisa menahan air panas hingga mulutku menggembung dan menelannya kembali, begitu seterusnya. Aku poci teh yang hanya bisa bersenandung lirih dalam hati.

Tuesday, October 19, 2010

Aku seperti lentera usang tanpa guna,
dengan debu-debu ringan menebal karena tak pernah kau rawat,
dengan sumbu panjang yang lembab karena tak pernah kau nyalakan.

Aku seperti lentera tua di sudut kamarmu,
tak pernah kau sentuh,
namun juga tak ingin kau buang.

Aku,
hanya lentera penghias sepi.




*suatu malam*

Ini mawar putih kesukaanmu. . Pandangi saja indahnya, cium wanginya. Biar aku yg menggenggam durinya untukmu. . Apalah arti sakit ini, bila bahagiamu adalah bahagiaku. .

Tuesday, October 5, 2010

Wahai manusia-manusia dengan wajah rupawan, masihkah kau merasa bangga dengan apa yang kau miliki sekarang? Tidakkah kau sadar bahwa kecantikan dan ketampananmu itu hanya beberapa milimeter dari tulang belulangmu?! dan dalam hitungan detik, Dia bisa mengambil keindahanmu,menjadikanmu buruk rupa slamanya.
 

Wahai manusia-manusia angkuh, para hartawan dan kuasawan, apa yang bisa kau banggakan dari secuil nkmat yang dititipkan kepadamu?!

Bila tanpaNya kau hanya sebuah raga tak bernyawa, apakah masih pantas dirimu disebut HEBAT?!

Aku bukan satpam hatimu. .! Lakukan sesukamu. . Biar semua pintu dan jendela hatimu terbuka. . Ku tak takut kehilanganmu. . Karena ku tau kau pun tak ingin dicuri olehnya. .