Sunday, June 27, 2010

Bunga Kristal

Namanya bunga kristal. Cantik, indah, juga mahal. Bukan bunga murahan, bukan bunga di tepi jalan, bukan bunga liar. Tidak semua orang bisa menyentuhnya, apalagi memilikinya. Sayangnya, ia mudah pecah jika terjatuh. Ia yang selalu terpekur di dalam vas keramik yang keras. Hanya bisa mengintip dunia dari lubang kunci, seraya berteriak dalam hati, "aku ingin bebas memilih bahagiaku!"

Suatu ketika, ia melihat bunga rumput diantara ilalang. Lincah, bebas, tegar, kuat, tak takut terjatuh dan kotor. Tawanya lucu, tatapan matanya nakal. Ia menarik, sangat menawan, indah... meski tanpa vas keramik. Itu yang membuat bunga kristal jatuh hati. Hati mereka terpaut, meski berbatas vas bunga. Bunga rumput mengajarinya tentang angin, tentang hujan, petir, matahari, bulan... tentang apapun! Juga tentang langit yang tak selalu berwarna biru segar.

Pagi itu, bunga kristal menggeliat hebat, mengambil nafas panjang dan mendorong tubuhnya sekuat tenaga, dan Oh!! Vas keramik itu berguling, jatuh menghantam tanah, hancur. Kristal tersungkur, melihat sekujur tubuhnya yang retak seraya memunguti pecahan daunnya yang terserak. Ia berdiri dan berjalan meninggalkan vas keramik yang angkuh. Lalu menghempaskan badannya di antara ilalang, memandang bunga rumput yang berdiri di depannya. Matanya mengerling, manja, dan nakal, namun bersahaja. Kristal mendekat, mendekap erat bunga rumput dan mendekatkan bibirnya tepat di telinga rumput, lalu bisiknya, "ajari aku tentang hidup, aku memilihmu kasihku...." ^^

aku memilihmu dengan mata hati, bukan dengan mata kepala

aku menjagamu dengan kepercayaan, bukan dengan prasangka

aku mengekangmu dengan rasa sayang, bukan dengan rasa takut

aku mengikatmu dengan perhatian, bukan dengan keakuan

aku menjatuhkanmu dengan kesabaran, bukan dengan amarah

aku melepasmu dengan cinta, bukan dengan benci

dan aku membangunkanmu dengan ciuman lembut, bukan dengan dengkuran keras!

hahahaaaa . . . .

Akhirnya...

Hanya bisa diam memasung rindu,
Biarlah...
Biar pergi tanpa duka,
Biarlah...
Biar datang tanpa suka,

Usahlah berucap,
Biarlah...
Biar hati terbiasa tanpa rasa,
Biarlah...
Biar pikir terbiasa mengecap pahit,

Biar dan biarlah...
Biar hilang sudah.

Friday, June 25, 2010

Kursi Kayu

Ada kursi kayu dengan empat kaki yang kuat untuk menopang beban tubuh hingga 100 kg. Ia sudah seringkali menjadi tempat duduk yang nyaman bagi orang-orang dengan beban tubuh beragam. Pernah pula, beberapa kali diduduki oleh pria berbadan tambun dengan berat lebih dari 100 kg, tapi kuat!!

Namun suatu ketika, seorang pria dengan berat badan 70 kg menyempatkan duduk di sana. Dan, "bruaakkk...!!!", dia terjatuh karena satu kaki kursi itu patah. Banyak yang bilang, ini kesalahan orang yang terakhir duduk.

Semua orang mengira bahwa kursi kayu itu selalu kuat, padahal kursi kayu juga bisa patah. Kenapa dari dulu tak pernah ada yang merawatnya?? Kalau sudah patah, semua hanya bisa bertanya, "kenapa bisa patah?", padahal mereka yang berbuat.

Kasian orang yang terakhir duduk, ia jadi merasa sangat bersalah.
Seandainya aku boleh memilih,
Ingin menjadi apa jika aku dilahirkan kembali?
Maka jawabku, aku ingin menjadi laki-laki.
Kamu tahu kenapa?
Karena aku tahu benar, bagaimana cara menghargai perempuan.

Seandainya aku diijinkan untuk hidup abadi,
Maka aku tidak akan memilih menjadi manusia.
Kamu tahu kenapa?
Karena manusia selalu berbuat kerusakan di muka bumi ini.

Dan seandainya aku harus mati besok,
Maka aku akan memilih menjadi rumput liar.
Kamu tahu kenapa?
Karena kematianku tidak akan menyisakan kesedihan bagi siapapun.
.....berterima kasihlah pada orang yang telah berbuat baik kepadamu, bukan karena apa yang dia beri, tetapi karena mengapa ia memberimu.....
Kulihat langit malam ini,
dari sela jendelaku yang rapuh

Tampak seraut wajah di sana,
di antara cahaya langit
Ia tersenyum,
hangat kurasa

Gelora asmara mulai memetik dawai hati,
dan sebuah melodi pun mengalun lembut,
dalam malam...

Sungguh,
ini rindu yang sempurna, kasihku...^^

Jangan mau dikejar masalah, jemput masalahnya! Tantang dia! Hajar, pukul KO! Jadi pemenangnya dan tersenyumlah untukku. .^^

, , , seandaix JIKA tidak bersyarat, tidak akan ada MUNGKIN apalagi TDK , , ,

Pergilah. . . jika aku bukan bahagiamu. . . dan aku kan tetap di sini, tersenyum, melihatmu dari kejauhan . . .^^

Laki-laki itu seperti pasir. Kalau digenggam terlalu erat, maka ia akan keluar dari sela-sela jarimu sedikit demi sedikit, tak terasa. Hingga kau sadari, ketika kau buka tanganmu, hanya tersisa beberapa butir pasir di telapakmu dan ia tak mampu lagi kau genggam. 


Maka rapatkan jarimu, buat mangkuk cantik dengan kedua telapak tanganmu. Wadahi pasirnya, jangan terlalu banyak mengguncang agar ia tak mudah tumpah. Lalu genggam dengan lembut, buat ia merasa nyaman dalam hangat tangkupan telapakmu...^^

 

Tersenyumlah, buat semua terasa indah. Karena besok, hari ini akan menjadi masa lalu, begitu juga seterusnya, tanpa terasa... sampai suatu saat kamu akan merindukan hari ini, seperti kamu merindukan masa-masa lalu yang lebih dulu tertinggal...^^

 


Perempuan itu seperti secangkir kopi panas. Bisa mencairkan dinginmu, bisa menyegarkan pikiranmu, bisa menjadi teman di saat santai dan gundahmu. Tapi perlakukan dia dengan lembut, agar ia tak melukaimu jika tertumpah. Tiup perlahan-lahan dari tepi cangkir, minum sedikit demi sedikit. . lalu tutup rapat, buat ia menjadi sangat istimewa untukmu. Jangan biarkan ia sendiri terlalu lama, terbuka dan tertiup angin, karena itu akan membuatnya dingin dan tidak nikmat lagi.

Tidak akan menyerah untuk sebuah kondisi yang tak sesuai harapan, karena yang terbaik selalu di dapat dengan susah payah, ini harga mahal yang harus kubayar untuk sebuah KEBAHAGIAAN.

Agak susah membedakan antara pembuktian cinta, rela bkorban untuk cinta, dan dibodohi oleh cinta. . Ow oww!

Aku, 

yang tak kau ketahui tentang diriku.

 

Aku, 

yang tak kau ketahui tentang hatiku.

 

Aku, 

yang tak kau ketahui tentang pikirku.

 

Aku, 

yang tak kau ketahui tentang inginku.

 

Aku,

yang tak kau ketahui tentang aku.

 

Aku,

sekeping misteri yang belum terpecahkan.

 

Biarkan waktu yang bercerita tentangku untukmu, karena ia teman sejatiku, saksi hidupku, dan aku tidak pernah melakukan pembelaan atas semua prasangka mereka.

Berharap hati kan sekuat pikirku. . Sungguh! Menaklukkan hati bukan persoalan mudah, karena ia terbiasa merajai diri. .

"Adalah bodoh membiarkan cinta bjalan apa adanya"

Pmenang memiliki program, pecundang memiliki alasan.

 

Pemenang melihat sebuah jawaban dalam setiap permasalahan, pecundang melihat sebuah masalah dalam setiap jawaban. 

 

Pemenang berkata hal itu sulit tapi mungkin dikerjakan, pecundang berkata hal itu mungkin tapi sulit d kerjakan.

Cara kamu memperlakukan orang lain, mengajarkan bagaimana orang memperlakukan kamu.

Thursday, June 24, 2010

Kesaksian Sukirman


Hujan deras mengguyur tanah Jawa sejak pagi buta.  Dingin menyergap, seolah ingin membekukan bara yang telah lama tersimpan dalam hati mereka yang terjajah, berabad-abad lamanya. Tapi, bara itu tidak akan pernah padam, meski belum berkobar. Dan kini, percikan api itu telah menjelma menjadi kobaran api, menggelora dalam hati, hati mereka yang selalu merindukan kebebasan. Ya, mereka memutuskan untuk menjadi pemberontak-pemberontak kecil dengan sebuah rencana besar.
Sebuah percakapan, di beranda rumah Wahidin, suatu malam.
“Seluruh rekan-rekan di STOVIA sudah menyatakan mendukung Budi Utomo, Dok. Mereka menjanjikan kesanggupannya untuk ikut turun tangan menggalang dana pendidikan keliling Jawa. Bahkan, mereka juga siap menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non pemerintah.”
Wahidin tersenyum lega.
“Sayangnya, Bupati-bupati arogan itu tidak sepaham dengan kita. Apalagi Bupati Warman. Saya tidak menyangka, Dok. Mereka justru menyerang kita!”, tutur Prawira dengan sengit. Ia tak mampu menyembunyikan raut kekecewaannya.
Namun, Wahidin tidak terprovokasi. Ia tetap bertahan dengan sikap tenangnya. “Yah, kita harus sedikit bersabar, Wira”, ujar Wahidin. “Mereka hanya belum siap menerima ide-ide progresif kita karena menganggap Budi Utomo adalah ancaman bagi kedudukan mereka.”
Prawira mengangguk beberapa kali, membenarkan ucapan Wahidin.
Wahidin menyandarkan lengannya pada pegangan kursi. Lalu ujarnya seraya tersenyum tipis, “Kau lihat sendiri, mereka terpaksa mengikuti semua keinginan Belanda dan bekerja di bawah kontrol penuh Parlemen, dengan imbalan gaji minim. Sampai-sampai mereka harus mengkorup uang pajak untuk mencukupi kebutuhan mereka. Kau pikir, dari mana semua kemewahan Bupati-bupati itu?”
“Saya juga tidak habis pikir, apalagi dengan ide gila mereka!” Dokter tahu kan? Saat ini mereka sedang merencanakan mendirikan organisasi Setia Mulia di Semarang untuk membendung pengaruh Budi Utomo!”, nada bicara Prawira terdengar sedikit meninggi
Wahidin mengangguk-angguk. Ia tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari Prawira.
Lalu lanjut Prawira, “tapi, setidaknya masih ada Bupati Karanganyar dan Tirto Kusumo yang mendukung kita, dan saya juga sedang mengupayakan dukungan penuh dari ayah. Dokter tahu siapa ayah saya kan?”
“Siapa yang tidak mengenaal Sen, satu-satunya bupati keturunan Tiong Hoa yang sangat berpengaruh di Jawa ini. Beliau anak emas Belanda, itu sudah menjadi rahasia umum. Lalu, apa pendapat beliau tentang Budi Utomo?”
“Saya baru akan membicarakannya besok”, jawab Prawira dengan ragu. “ini pukulankeras untuk ayah. Karenanya, saya harus memilih waktu dan komunikasi yang tepat untuk mengemukakan rencana kita. Setidaknya, ayah tidak sampai menganggap saya sebagai pengkhianat.”
Wahidin menepuk-nepuk bahu Prawira.
Prawira mengubah posisi duduknya. Ia menyandarkan punggungnya di kursi seraya menurunkan bahunya dan meregangkan kakinya beberapa saat, “meskipun Dokter adalah senior saya, tapi saya merasa nyaman berbincang dengan Dokter. Saya mengagumi kecerdasan, kejujuran, dan ketulusan Dokter. Lebih dari itu, saya sudah menganggap Dokter sebagai sabahat saya...”
Prawira kemudian mencondongkan tubuhnya mendekati Wahidin dan merendahkan suaranya, “tujuan kedatangan saya sebenarnya adalah untuk berbagi cerita rahasia. Saya yakin Dokter adalah orang yang tepat untuk mendengar dan menyimpan cerita ini.”
Wahidin mengernyit.
“Saya tahu cara melumpuhkan perekonomian Belanda”, ujar Prawira setengah berbisik. “rahasianya terletak di perkebunan-perkebunan itu, terutama di Jawa dan Sumatera!”
Wahidin mengerutkan dahi, “setahu saya, selama ini memang perdagangan komoditi ekspor lah yang membuat perekonomian mereka pulih dari keterpurukan. Selain hasil pajak sewa tanah, tentunya. Lantas, cara seperti apa yang kau maksudkan?”
“Dokter belum mendengar? Kalau selama berabad-abad lamanya, Belanda tidak benar-benar tergantung dari perdagangan tembakau, tebu, kelapa sawit, kopi, juga pertambangan minyak dan batu bara itu!”
“Bagaimana mungkin?! Bukankah semua yang kau sebutkan itu adalah komoditi ekspor yang laku di pasar Eropa?!”
Prawira tersenyum sinis.
Wahidin mengusap dagunya beberapa kali, alisnya naik, dan dahinya masih tetap mengkerut.
“Sekedar pengandaian. Dari 100 karung tembakau, ternyata hanya 25 karung yang sungguh-sungguh berisi tembakau!”
Wahidin masih bungkam. Ia mengamati Prawira seraya menurunkan kacamatanya hingga batang hidungnya yang terendah.
“75 karung lainnya berisi bunga opium!’, bisik Prawira. “Mereka bertahan hidup selama berabad-abad dari opium-opium itu. Ini satu-satunya kelemahan Belanda! Kalau kita berhasil menguasai bandar-bandar d jaur perdagangan itu, kita pasti menang!”
Wahidin tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
“Ayah yang mengatakan semuanya pada saya”, jelas Prawira.
Dan ia pun memulai cerita panjangnya.
“Ayah terlahir dari garis keturunan pedagang Cina yang terkemuka di masanya. Mereka sudah ada di Nusantara, sebelum kedatangan Eropa. Mereka mampu bertahan hidup karena keahlian berdagangnya. Sejak dulu, mereka sudah terlatih untuk mencari kesempatan dalam berusaha. Itu karena mereka pandai menyesuaikan diri dengan perubahan situasi. Bahkan, saat Pribumi merasa sangat dirugikan dengan monopoli perdagangan Belanda, mereka justru melihatnya sebagai peluang!
Mereka pun menawarkan diri sebagai pedagang perantara Belanda. Dan gayung pun bersambut! Melihat reputasi mereka, Belanda pun memakai jasa mereka sebagai kurir-kurir kepercayaannya. Dengan keahlian mereka, Belanda berhasil menyelundupkan berton-ton opium ke Eropa, melalui Samudera Atlantik. Dokter bisa membayangkan keuntungan bisnis illegal ini kan?
Dengan begitu, Belanda mampu membiayai dan memperkuat persenjataan armada perangnya. Maklum, selain untuk membendung berbagai serangan dari kerajaan di Nusantara, saat itu Belanda juga sedang berjuang untuk memukul mundur Perancis. Belanda terbelit hutang besar dengan bunga melambung pada Perancis. Untuk itu, Belanda membutuhkan pemasukan yang besar dalam waktu singkat. Dan opium-opium itulah yang menjadi dewa penyelamat mereka selama berabad-abad lamanya, selain pajak sewa tanah dan komoditi ekspor hasil tanam paksa.
Ayah adalah generasi terakhir dari keturunan Yat Sen. Beliau memiliki lebih dari 100 anak buah yang tersebar di lautan. Kepandaiannya mengorganisir ratusan kurir –didukung naluri dagangnya yang kuat dan loyalitas yang tinggi pada pimpinan –akhirnya berbuah manis. Belanda kemudian mengangkat ayah menjadi Bupati kepercayaannya, satu-satunya Bupati yang diangkat dari seorang rakyat jelata.
Ayah kemudian menikahi Mey-mey, gadis bangsawan, peranakan Jawa-Cina. Mereka menjalani pernikahan hampir 10 tahun, namun tak kunjung dikaruniai keturunan. Dan entah bagaimana ceritanya, Akhirnya Sen dan istrinya mengadopsi seorang buruh perkebunan cilik. Keputusan ini sempat ditentang Belanda, karena selain sudah terikat kontrak kerja seumur hidup, bocah itu juga berasal dari kaum miskin yang bodoh. Namun, dengan bujuk rayu Sen, akhirnya Belanda menyetujui keinginannya, meskipun dengan berat hati.
Sen ingin bocah itu menjadi penerusnya, sebagai elit pribumi yang setia pada Belanda. Karenanya, sejak saat itu, beliau memasukkan anak laki-laki itu pada Sekolah Rendah Eropa dan menyarankan padanya untuk melanjutkan pendidikan di STOVIA. Dokter pasti sudah bisa menyimpulkan cerita saya...”
Wahidin mengangguk perlahan, namun penuh keyakinan.
“Ya, anak angkat itu adalah saya”, tegas Prawira. “Dan Sen adalah orang yang paling berjasa dalam hidup saya, karena beliau yang mengangkat saya, dari rakyat jelata menjadi priyayi...”
##

Tanah itu masih basah dan lunak. Batu nisannya juga belum tertancap kuat. Tak ada taburan bunga. Hanya bunga kamboja yang berjatuhan di atas makam, terkena tiupan angin. Harum kamboja, bunga kuburan. Ya, pemakaman itu baru selesai. Jejak para pengentar jenasah juga masih lekat, membawa duka dan benci. Kebencian mendalam pada sang perampas nyawa yang sengaja menghapus jejaknya.
Wahidin tak juga beranjak. Pandangannya tertuju pada sebuah tulisan di batu nisan, ia mengusapnya beberapa kali. Wahidin sangat terpukul dengan kematian Prawira. Entah bagaimana perasaan Sen saat ini.
Mayat Prawira ditemukan di perkebunan, dengan luka tembakan tepat di dahinya. Tidak ada yang tahu pasti penyebab kematiannya. Hanya sebuah teriakan yang sempat terdengar sebelum letusan senapan itu, “PENGKHIANAT...!!!”
##

Namanya Sukirman. Pria paruh baya itu menemuinya di STOVIA. Wahidin tak mengenalnya. Tapi ia mempercayainya, karena ia melihat kejujuran di mata pria itu. Ya, matanya yang selalu tergenang setiap kali lidahnya mengeja nama Sen dan Prawira. Ia saksi mata kematian Prawira dan ia meminta Wahidin untuk menuliskan apa yang dilihat dan didengarnya di perkebunan, suatu siang.
Kesaksian Sukirman, sebuah catatan.
Aku tahu betul siapa Sen. Dia teman masa mudaku. Aku mengenalnya sejak ia masih menjadi kurir opium. Dan ia tak pernah berubah, meski Gubernur telah mengangkatnya menjadi Bupati. Ia tetaplah Sen yang kukenal setengah abad yang lalu. Sen tak pernah malu bergaul denganku, seorang buruh perkebunan. Bahkan ia yang memberikan jaminan saat Belanda hendak membuangku karena aku dianggap sudah tidak produktif lagi. Sen sangat mencintai Nusantara, meski kesetiaannya pada Belanda tak perlu dibuktikan lagi. Tapi aku tak pernah menduga, kesetiaannya itu yang akhirnya memaksanya untuk menjadi pembunuh.
Pagi itu, aku melihat Sen bertemu dengan Prawira di perkebunan. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan saat itu. Tapi aku yakin, mereka terlibat pembicaraan yang menyenangkan. Itu yang kutangkap dari senyum mereka yang terus mengembang. Bahkan, Sen sempat menyapa dan tersenyum lebar padaku, sesaat sebelum meninggalkan perkebunan.
Tengah hari, kulihat Prawira datang lagi ke perkebunan dengan tergesa-gesa. “Kata Guritno, Ayah ingin bertemu denganku”, ujarnya saat ia sadar aku mengamatinya. Beberapa menit kemudian, Sen menyusul Prawira. “Prawira ingin bertemu denganku”, jawabnya saat kutanyakan perihal keberadaannya di perkebunan siang itu. Entahlah, siapa yang sesungguhnya menginginkan pertemuan itu. Suasana perkebunan tampak lengang. Hanya Guritno, kacung belanda, yang tampak keluar masuk perkebunan. Ini cukup aneh, karena dalam kesehariannya, Guritno selalu tampak mendampingi Gubernur Jenderal. Dan aku tak melihat kehadiran Gubernur waktu itu.
Seketika aku menduga ada yang tidak beres dengan keberadaan mereka. Dan kecurigaanku memuncak, saat samar-samar kudengar keributan itu. Aku berlari menghampiri tempat pertemuan mereka, kemudian berjalan mengendap-endap dan mengintip melalui sela-sela jendela yang tidak terkunci.
Aku sangat terkejut! Ternyata Sen dan Prawira tidak sendirian! Ada Gubernur Willem dan Bupati Warman. Dugaanku, Gubernur dan Bupati Warman diam-diam memasuki perkebunan melalui pintu selatan, pintu yang tak lazim digunakan.
Saat itu, kulihat Gubernur dan Sen sedang terlibat perang mulut. Gubernur memukulkan kepalan tangannya ke meja beberapa kali. Wajahnya memerah dan suaranya meninggi. Sen tak mampu menguasai emosinya. Ia berdiri berhadapan dengan Gubernur, mencoba menjelaskan keinginan hatinya dengan suara lantang. Ia sangat marah!
Prawira berusaha sekuat tenaga menahan emosinya. Ia berdiri dengan tangan mengepal. Tatapan tajamnya menghujam secara bergantian pada Gubernur dan Bupati Warman. Sementara itu, Bupati Warman tampak berdiri dengan tenang disamping Gubernur. Ia melipat kedua lengannya di dada sambil sesekali tersenyum di satu sudut bibirnya.
Aku mulai bisa menyimpulkan apa yang sedang mereka bicarakan setelah beberapa saat mendengarkan dengan seksama. Hingga letusan itu mengakhiri pertikaian mereka.
Aku terhenyak, saat kulihat Bupati Warman tewas tertembus peluru di dadanya. Pistol itu pun terjatuh dari genggaman Sen. Lalu teriaknya pada Gubernur, “ Warman tak pernah setia padamu, meski ia menentang keras Budi Utomo! Ia hanya haus kekuasaan! Aku membunuhnya untukmu, karena suatu saat ia pasti akan menikammu dari belakang!”
Nafasku nyaris terhenti, ketika letusan itu kembali terdengar, sesaat setelah Gubernur berteriak, PENGKHIANAT...!!!” prawira roboh tepat di depan Sen. Dahinya tertembus peluru saat ia berusaha menghalangi tembakan Gubernur yang ditujukan pada sen.
Gubernur murka. Ia menyuruh anak buahnya untuk mengurung Sen di penjara bawah tanah, bersama mayat Bupati Warman. “Aku bukan pengkhianat! Aku hanya ingin membantu mereka mengambil kembali  apa yang seharusnya menjadi milik mereka!”, teriak Sen. Entah mengapa, Gubernur tak membunuh Sen saat itu juga.
Sen akhirnya tewas dengan tubuh penuh luka siksaan, empat hari kemudian. Mey-mey sengaja diasingkan ke Belanda. Sen dan istrinya yang tiba-tiba menghilang setelah peristiwa itulah yang menyebabkan penduduk akhirnya menyimpulkan sendiri tentang teka-teki  sang algojo dibalik kematian Prawira.. Dan memang itulah siasat Belanda, memunculkan Sen sebagai pelaku tunggal. Belanda ingin mengadu domba Pribumi dengan Tiong Hoa, karena Sen dan prawira diam-diam telah menggagas sebuah rencana untuk mempersatukan seluruh etnis di Nusantara, guna merebut kemerdekaan.
Aku sempat diam-diam menemui Sen, sebelum kematiannya, saat penjaga-penjaga itu lengah. Kondisinya sangat mengenaskan. Aku tak kuasa menahan air mataku setiap kali kuingat saat-saat terakhirnya. Tubuhnya lemah, hancur, dan berbau anyir. Luka di sekujur tubuhnya mulai membusuk. Seketika itu kuyakini, ia tak mungkin mampu bertahan hidup hingga esok hari.
Mataku dan matanya bertemu untuk beberapa detik. Ia menatapku nanar. Ada duka mendalam di matanya, meski air matanya tak sampai tertumpah. Ia tak banyak bicara. Tapi aku bisa merasakan, perih hatinya jauh melebihi perih di tubuhnya. Aku tak mampu menahan tangis kala itu.
Dan kulihat Sen mulai mengumpulkan sisa tenaganya. Berusaha meraihku melalui jeruji-jeruji besi yang berkarat. Ia mencengkeram bahuku dengan kuat dan mendekatkan bibirnya pada telingaku. Lalu bisiknya dengan suara parau, “satukan, lumpuhkan, serang”. Ia terus mengulang ucapannya tanpa membeikan penjelasan apapun padaku, hingga bibir dinginnya berhenti bergetar dan cengkeraman tangannya pun terlepas dari bahuku. Ya, ia tak lagi bernyawa.
Aku ingin kau menyimpan cerita ini sampai situasi aman. Dan apabila saat itu telah tiba, maka kabarkan berita gembira ini pada seluruh penduduk Nusantara. Aku mempercayakannya padamu, Wahidin.
##

Satukan, lumpuhkan, serang. Tiga kata itu berputar-putar di kepala Wahidin. Nyaris memporak-porandakan otakya. Namun ia berhasil menyatukan serpihan memorinya yang tercerai berai, setelah kematian Prawira.
Wahidin tersenyum dalam hati, entah bahagia atau sedih. Ia tak yakin dengan perasaannya, kecuali keyakinannya tentang kemenangan Nusantara, setelah ia berhasil memaknai pesan terakhir Sen. Ya, bangkitkan persatuan dan kesatuan, lumpuhkan perekonomian belanda, dan nyatakan PERANG!!




Tuesday, June 22, 2010

Bayang - Bayang Hilang


 Terik mentari menyengatku, membakar separuh wajahku. Aku terbangun dan kudapati diriku telah tergeletak di tengah hamparan tanah kering yang tak berujung. Tak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali detak jantungku dan nafasku yang kusadari masih berhembus. Aku berteriak! Memanggil-manggil sebuah nama yang tak kukenal. Entah siapa dia. Sungguh! Aku tak tahu siapa yang sedang kupanggil, meski aku merasa sangat membutuhkannya saat ini.
Aku berlari, terus berlari! Tapi, tak kutemukan apa yang kucari, dan aku pun tak tahu apa yang sesungguhnya kuinginkan dari apa yang kucari. Pulang! Aku ingin pulang, tapi aku tak tahu kemana kakiku harus melangkah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk berhenti, menunggu seseorang yang menemukanku, menyelamatkanku.
Air itu menitik dari ujung mataku. Kuusap beberapa kali, namun aku tak berhasil menghentikannya. Kubentangkan tanganku seraya menghirup udara dalam-dalam, namun debu-debu terlanjur menyumbat lubang hidungku sebelum angin kecil itu berhasil menerobos masuk. Kubaringkan tubuhku di tanah –dengan tangan yang masih membentang –kuperlebar rongga paru-paruku. Punggungku bersentuhan dengan retakan-retakan tanah yang kering, keras, dan kasar. Mataku terpejam, meski tak tertidur. Dan di tengah kesadaran penuhku, aku kembali meneriakkan namanya.
Seketika kurasakan keteduhan. Kubuka mataku perlahan, kulihat langit tak lagi berwarna merah menyala. Langit telah berubah menjadi biru segar dengan taburan kapas-kapas putih, namun tak ada perubahan yang berarti pada diriku. Aku tetaplah aku yang tak kukenal, yang selalu memanggil-manggil dia yang juga tak kukenal.
Aku kembali memejamkan mata dan berharap dia akan menemukanku saat aku terjaga. Tapi, aku sungguh-sungguh tak dapat terlelap! Rohku seakan tak ingin sejenak meninggalkan ragaku, meski aku berharap ia takkan pernah kembali. Aku ingin mati! Tapi, aku ingin jelas-jelas mati!! Bukan mati dalam hidup, atau hidup dalam mati.
Kupanggil namanya sekali lagi, namun hanya dalam hati. Tiba-tiba, kudengar langkah kaki yang mendekatiku. Langkah yang tenang dan teratur. Dia melangkah tanpa keraguan. Semakin dekat dan dekat, sangat dekat. Kini, ia telah berada tepat di belakangku. Ia menghentikan langkahnya. Bayangan tubuhnya membenami tubuhku dan kurasakan hembusan nafasnya yang hangat di tengkukku. Tapi, aku tak berani mebalikkan tubuhku. Ia menyentuh pundakku dengan lembut, berusaha meyakinkanku meski tak sepatah katapun yang kudengar dari bibirnya. Ia tak menyakitiku! Ia hanya menungguku melihat ke arahnya.
Apakah dia yang selalu kupanggil namanya?!, tanyaku dalam hati. Kulihat bayangannya, ia mengangguk, menjawab keraguanku. Aku tersenyum dan memberanikan diri untuk membalikkan badan, dengan mata terpejam. Kini, aku telah berhadapan dengannya. Hembusan nafasku dan nafasnya beradu. Kubuka mataku perlahan. Wajah itu! Aku hampir mengenalinya, namun kabut tipis itu terlanjur menutupi sebagian wajahnya. Aku tak berhasil mengenalinya! Tak bisa! Wajahnya semakin tak terlihat olehku dan aku tak mampu lagi mengingat wajahnya.
Ia membantuku berdiri. Tangannya kokoh, namun penuh kelembutan. Halus, tangannya selembut sutera. Mataku menyusuri setiap jengkal tubuhnya. Ia pria yang sempurna. Badannya tinggi dan tegap. Kulitnya putih bening, namun tak tampak pucat. Seluruh tubuhnya berbalut kain sutera putih. Ia nyata di hadapanku, meski wajahnya selalu tersembunyi.
Ia mundur selangkah dariku, genggamannya pun terlepas dari tanganku. Kulihat setangkai mawar merah yang merekah di genggaman tangan kanannya, sementara di genggaman tangan kirinya tampak sesuatu yang jernih berkilauan. Ia memberiku mawar dan segenggam air. Aneh! Air itu sama sekali tak merembes dari sela-sela jariku. Ia menunjuk pada hamparan tanah kering disekitarku. Lalu bisiknya, “tancapkan mawar ini di sana dan siramkan air ini. Jangan pernah percaya pada apapun yang kau lihat dan kau dengar setelah kepergianku, karena mawar itu akan melukaimu!”. Ia menghilang, sebelum aku sempat mempertanyakan maksud ucapannya.
Kupandangi mawar dan air pemberiannya. Lalu kubungkukkan badanku. Kuputuskan untuk menuruti perintahnya, karena hanya ia yang mampu mendengar panggilan hatiku. Tapi, tiba-tiba ia memanggilku, sesaat sebelum mawar itu berhasil kutancapkan. “Gadis . . .”, panggilnya. Ia memanggilku Gadis! Akhirnya ada juga yang mengenaliku. Namun. Aku tak berani melihat ke arah suara wanita itu, karena aku teringat pesan pria misterius itu. “Buang mawar itu! Mawar itu seperti iblis!”, seru wanita itu. “Ia hanya indah sesaat, namun meninggalkan luka abadi! Lihat apa yang terjadi denganku dan mereka karena mawar itu! Lihat ini, sebelum kau menyesal!!”
            Kuputar leherku dengan ragu. Wanita tua itu mendekatiku, jalannya terseok. Ia mengenakan gaun putih yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh tanah. Lambat laun, kulihat beberapa wanita muda yang membuntutinya. Mereka mengenakan pakaian yang serupa dengan wanita tua itu. Dua, tiga, lima, semakin banyak dan bertambah banyak, hingga aku tak mampu lagi menghitungnya. Mereka menghentikan langkahnya, beberapa meter dariku. Dan aku mulai mengenali raut wajah wanita tua itu..
“Ibu!”, teriakku. Entah bagaimana aku mampu mengenalinya sebagai ibuku, sedangkan aku tak berhasil mengenali diriku sendiri?!
“Kau benar-benar Ibuku?!”
Ia mengangguk dan berjalan menghampiriku. Kini, ia tepat berada satu meter di depanku. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan memerah.
“Lihat apa yang dilakukan mawar merah itu padaku!”, teriaknya dengan marah seraya memperlihatkan kedua telapak tangannya padaku.
Mataku terbelalak, mulutku menganga. Kulihat tangan ibuku hancur, penuh sayatan benda tajam, dan lukanya belum mengering. Aku menghampirinya, duri-duri mawar itu masih tetancap, tersebar di kedua telapak tangannya.
“Keindahan mawar itu telah sirna, hanya duri-duri ini yang tersisa untukku, sang pemuja mawar merah. Apakah ini yang sesungguhnya kau inginkan?!”, seru Ibu.
Aku terdiam.
“Lihat mereka, Gadis!”, ujar ibu seraya mengarahkan jari telunjuknya pada barisan ratusan wanita muda yang berjajar di belakangnya. Aku tak dapat melihat muka wanita-wanita itu, karena mereka terus menunduk. Hanya tangis pilu yang kudengar dan darah segar itu mengalir deras dari telapak tangan mereka.
Aku mundur beberapa langkah, berlari menjauhi mereka. Ibu terus memanggilku, namun aku tak ingin mendengarnya. Aku berlari dan terus berlari, hingga terhenti karena lelahku. Mawar dan air jernih itu masih kugenggam, namun aku semakin ragu. Aku berharap tak pernah percaya dengan apa yang dikatakan dan diperlihatkan ibu. Aku hanya ingin percaya pada mawar merah itu, tapi duri-durinya telah melukai mereka. Aku marah, meski hatiku tak pernah berhenti memanggil-manggil namanya, dia yang memberiku setangkai mawar dengan senyuman hangatnya.
Kucampakkan mawar merah itu di tanah kering. Bunga itu begitu cepat layu dan kering begitu tersentuh tanah. Ia hancur dan lenyap kemudian, namun duri-durinya terlanjur tertancap dan mengoyak telapak tanganku. Air dalam genggamanku pun mengering dalam sekejap. Kini, hanya perih yang tersisa. Ya, apa yang terjadi pada ibu dan wanita-wanita malang itu akhirnya terjadi juga padaku. Benar kata Ibu! Benar kata mereka!! Dia pembohong! Mawar merah itu benar-benar iblis . . .!!! Aku berteriak histeris.
Tiba-tiba dia muncul di hadapanku, namun ia menjauh setiap kali kakiku melangkah mendekatinya. Semakin kudekati, ia semakin menjauhiku. Aku menghentikan langkahku, tapi ia tetap menjauh. Ia pergi meninggalkanku, menghilang entah kemana. Tak kudengar lagi langkahnya dan tak kutemukan bekas tapaknya. Ia juga tak pernah datang, meski aku telah berulang kali memanggilnya.
Aku menangis, hanya bisa menangisi dia yang selalu kucari dan kuragukan. Mataku kering, kepalaku pening, dan hatiku hening. Namun, aku tak pernah berhenti memanggil namanya, hingga kurasakan tangan itu menepuk-nepuk pipiku. Aku terbangun dan kulihat ibu duduk di sampingku. Nafasku masih terengah-engah dan aku tak ingat lagi siapa yang selalu kupanggil. “Kau pasti mimpi buruk lagi, sayang . . .”, ujar ibu seraya tersenyum dan membelai rambutku dengan lembut.
###

Aku duduk di teras depan rumah. Kusandarkan punggungku pada kursi bambu, dengan kedua tangan yang kusatukan di belakang kepala. Kupandangi langit pagi itu, tampak cerah dan bersahabat. Langit itu mengingatkanku pada mimpi semalam. Yah, ini langit yang sama! Biru segar dengan taburan kapas-kapas putih! Aku masih mengingat mimpi itu dengan sempurna, kecuali dia! Aku menggeleng dengan cepat. Ibu sempat melirikku dan aku hanya tersenyum padanya.
Ibu tampak menikmati kesibukannya merawat tanaman. Oh, ibu, benarkah hanya itu yang sungguh membuatmu bahagia? Pandanganku tertahan pada sosok ibuku dan langit segar itu tak lagi menarik bagiku. Ibu terlihat semakin tua, jauh berubah dari tiga tahun yang lalu. Kulit wajahnya sudah turun, kerutan-kerutan halus di wajahnya tampak semakin nyata. Tubuhnya pun tidak seenergik dulu, meski semangat hidupnya tak sedikit pun berkurang dan kecantikannya tak pernah pudar.
 “Gadis . . .”, panggil ibu dengan raut keheranan. Aku terlalu asyik melamun hingga tak sadar, ibu yang sejak tadi menjadi objek pandanganku telah membalikkan badan dan berjalan menghampiriku. Sekali lagi, aku hanya bisa tersenyum. “:Kau baik-baik saja, nak?”, tanyanya. Aku mengangguk dengan cepat dan ibu pun berlalu dari hadapanku.
Hanya ibu yang selalu mengkhawatirkanku, menyayangiku, dan mencintaiku, begitu juga denganku. Semua hanya untuk ibu, karena hanya ibu yang mengajariku tentang ketulusan cinta. Dan ibu juga yang selalu mengingatkanku untuk berhati-hati dengan makhluk yang bernama laki-laki. Semakin rupawan, semakin berbahaya, begitu ingatnya setiap saat.
Dan Ayah, nama itu begitu asing di lidahku hingga aku takut salah mengejanya. Yah, aku terakhir memanggilnya tiga belas tahun yang lalu, saat usiaku belum genap empat tahun. Dia laki-laki pertama yang mengenalkanku pada rasa sakit, meski aku baru benar-benar merasakannya saat usiaku merangkak remaja, saat ku putuskan untuk tidak lagi meridukannya dan menjalani hidup tanpa cinta seorang laki-laki.
Seperti ibu, dia yang tak pernah mencintai laki-laki selain ayahku. Dan ia yang tak pernah membuka hatinya setelah kepergian ayah, entah karena begitu cinta atau begitu sakit. Aku masih ingat bagaimana kesedihan ibu, tahun demi tahun, sejak ayah meninggalkannya demi wanita itu! Wanita yang tidak layak di sejajarkan dengan ibu, meski keindahan ragawinya selalu mengundang decak kagum kaum adam. Aku masih terlalu kecil saat itu. Aku hanya bisa melihat, mendengar, dan merekam semuanya dalam ingatan masa kecilku, dan baru mampu mengartikannya ketika kedewasaaanku mulai terbentuk dan terasah oleh waktu.
Aku membenci laki-laki, laki-laki yang tak pernah puas dengan satu perempuan! Mereka layaknya serigala liar yang selalu meneteskan air liurnya setiapkali melihat daging merah segar yang menggiurkan. Tapi, ia tak tampak seperti serigala. Pikiranku melayang dan aku kembali teringat mimpi semalam. Tentang dia, mawar itu, juga ibu dan wanita-wanita itu, sangat mengerikan. Hanya dia yang membuatku tenang, tapi ia meninggalkanku setelah menyakitiku dengan mawarnya!
Ah! Bagaimana mungkin aku merindukannya, sementara aku sangat membenci laki-laki! Uughh . . . aku bingung dengan semua ini! Aku berteriak dalam hati seraya menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tapi, siapa dia?! Aku mulai membuka memoriku tentang mimpi-mimpiku yang lalu, namun aku tak ingat lagi bagaimana alur setiap episode mimpiku dengannya.
Bola mataku berputar, mengikuti putaran otakku. Dia laki-laki yang selalu kuimpikan hampir di setiap lelapku. Dia yang selalu melihatku dari kejauhan dan tersenyum setiapkali kuhampiri, namun segera menghilang dengan cepat setiapkali jariku hampir menyentuh wajahnya yang selalu tersembunyi. Aku hanya mengingat matanya. Mata milik dia yang selalu kupanggil namanya.
###

Tubuhku mengayun ke depan dan belakang. Jari-jariku mencengkeram tali tampar yang mengikat kuat lempengan kayu itu pada sebuah pohon tua, hingga aku bisa duduk dengan nyaman tanpa takut terjatuh. Sementara, kakiku bergerak lincah mengayuh angin. Hembusannya mendorong tubuhku dari belakang, hingga ujung hidungku yang menjulang nyaris menyentuh awan putih yang menggelayut manja di langit. Namun, ia segera menghempaskanku ke tanah sebelum kepalaku berhasil menyembul ke balik awan. Selalu begitu! Ia terlalu pandai mempermainkanku dengan tiupan-tiupan kencangnya yang berdebu.
Bunga-bunga bermekaran, melambai-lambai tertiup angin, seolah menyapaku. Tubuhku terus mengayun, ujung kakiku beberapa kali menyentuh kelopaknya, hingga aku tak sengaja menjatuhkannya dari tangkainya. Tiba-tiba, kudengar ibu memanggilku, dari atas bukit. Kujejakkan kakiku di tanah dan tubuhku pun berhenti mengayun. “Gadis . . .”, sekali lagi kudengar panggilan ibu.
Aku segera berlari menaiki bukit, menghampiri ibu. Namun, ia tak kujumpai di sana. Nafasku berpacu dengan detak jantungku. Aku duduk bersandar di bawah pohon seraya meluruskan kedua kakiku yang letih setelah berlari. Pohon tua itu terlihat jelas dari atas bukit. Tampak kokoh di tengah taman bunga yang mengitarinya. Sangat indah. Ribuan mawar beraneka warna itu bermekaran, tertata apik, seperti permadani. Dan kulihat ayunan kayuku bergerak sendiri diterpa angin.
Tapi, dalam sekejap, bayangan hitam itu menutupi pandanganku! Tak jelas bagaimana wujud dan rupanya, namun ia berhasil membuatku merasa sangat terancam. Kakiku menjejak-jejak di tanah, tetapi tubuhku tak juga terdorong ke belakang, karena terhalang pohon. Oh! Aku mulai bisa melihat bentuknya! Tinggi, besar, gempal, dengan tangan dan kaki yang berotot. Sekujur tubuhnya hitam tanpa rupa, sangat menyeramkan.
Ia mendekatiku, seperti hendak menerkamku. Untungnya aku berhasil menggulingkan tubuhku ke samping dan segera berlari menjauhinya. Aku terus berlari, meski lelahku terasa kian menghimpit. Ia masih mengejarku, langkahnya terdengar semakin mendekatiku, tapi aku sudah tak punya kekuatan lagi. Aku terjatuh, lututku membentur tanah dengan keras dan darah segar mengucur dari kulitku yang tergores. Kuhimpun sisa-sisa tenagaku, kuandalkan kekuatan tanganku untuk merangkak menjauhinya, namun aku terlalu letih. Dan akhirnya aku menyerah. Aku tertunduk dengan mata terpejam rapat. Ia memegang bahuku dengan kedua tangannya dan memaksaku berdiri. Aku berontak! “Lepaskan aku!”, teriakku. Kuberanikan diri untuk melihatnya. Aku terkejut! Ternyata dia yang menangkapku. Ya, ia yang selalu kupanggil namanya.
Ia menggenggam pergelangan tangan kiriku dengan tangan kanannya dan memaksaku mengikutinya. Beberapa kali aku melihat ke belakang, namun bayangan itu tak lagi mengejarku. Ia menghilang dengan tiba-tiba, seperti saat ia datang. Aku tak tahu kemana ia akan membawaku. Ia terus melangkah, tanpa berucap apapun padaku. Dan entah mengapa aku tak berselera melawannya, seperti yang kulakukan saat bayangan hitam itu hendak menangkapku.
Dia berhenti tepat di tepi telaga biru dengan rumput-rumput liar yang mengelilinginya. Cahaya matahari jatuh memantul-mantul di atas telaga yang jernih, menyerupai butir-butir kristal yang indah. Ia melepaskan genggaman tangannya dari pergelanganku dan berbaring tepat di tepi telaga, hingga ujung kakinya menyentuh air. Ia menyipak-nyipak air telaga dengan kakinya. Entah apa yang dilakukannya, namun aku terdorong untuk mengikutinya. Aku berbaring tepat di sampingnya dan kuikuti apapun yang dilakukannya. Ia melilhat ke arahku, ujung hidungnya menyentuh pipiku, namun ia menghilang sebelum aku sempat melihat wajahnya.
Aku terbangun. Rupanya aku terlalu lelah, hingga tertidur di tepi telaga. Aku melihatnya dan ternyata ia benar-benar menghilang. Ia meninggalkanku! Aku beranjak. Tak ada yang berubah dari telaga itu, tetap jernih dengan butir-butir kristal yang berkilauan. Tiba-tiba, kudengar cipak-cipak air. Aku tersenyum dan berharap dia tak benar-benar pergi. Kuputar leherku ke arah suara itu, tapi hanya kutemukan katak-katak hijau yang melompat dari atas batu menuju telaga.
Aku berteriak-teriak memanggilnya, namun ia tak datang. Dan kembali kudengar ibu memanggilku. Kutinggalkan telaga tenang itu dan berjalan menuju arah suara ibu. Kusibak semak, dan belukar-belukar itu membasahiku dengan bulir-bulir embun yang menggenangi ujung-ujung daunnya.
Sunyi kembali menyergap dan langkah itu kudengar lagi. Langkahnya cepat. Aku melihat ke belakang, melalui ujung mataku. Bayangan hitam itu mengejarku dengan langkah lebar. Kupercepat laju kakiku dan sampailah aku di sebuah padang rumput. Ribuan rumput liar dengan bunga-bunga kapas menyambutku, mengibas-ngibas wajahku dengan bulu-bulunya yang lembut. Ia semakin mendekatiku. Tangannya terus menggapai-gapai ke arahku, bahkan ujung jarinya beberapa kali telah menyentuh punggungku. Untung aku cepat menemukan pintu itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada sebuah pintu kayu di hadapanku. Sebuah pintu tanpa rumah! Pintu yang reyot dan lapuk. Tanpa pikir panjang, kubuka pintu itu. Krieeekkk... bunyi engsel pintu itu menunjukkan betapa lama pintu tak terbuka, dan aku pun berhasil lolos dari kejarannya!
Pintu itu menghubungkanku pada sebuah ruangan hampa yang serba putih. Sebuah ruangan tanpa batas! Sudah ribuan kali kakiku melangkah. Ke depan, ke belakang, ke samping, kemanapun! Namun tak kutemukan ujungnya. Aku tak dapat menyentuh dan melihat apapun kecuali PUTIH. Bahkan, langkahku serasa melayang di atas PUTIH. Semua serba putih. Putih terang, tanpa tekstur. Tak kutemukan apapun yang dapat kulihat dan kusentuh. Hanya suara-suara itu yang terdengar riuh di telingaku. Suara tapak-tapak kaki yang beradu dengan waktu, juga benda-benda yang menggelinding cepat di lantai. Sesekali, kudengar teriakan-teriakan histeris dan rintih kesakitan.
Aku limbung dan seketika bau menyengat itu menusuk hidungku. Kuikuti arah bau itu, namun aku tak menemukan apa-apa, kecuali PUTIH. Aku menangis sambil terus memanggil namanya, hingga akhirnya langkahku membentur sebuah dinding yang tak terlihat. Kuraba dan kurasakan teksturnya. Kutemukan sebuah benda yang menempel di dinding, mirip gagang pintu! Yeah! Akhirnya aku menemukan jalan keluar! Kukait gagang pintu itu, dan aku pun berhasil keluar. Ada dia di sana. Ia duduk di sebuah kursi kayu yang menghadap ke kolam ikan, dengan rumput-rumput hijau dan bunga warna-warni yang terhampar di setiap sisinya, juga pancuran air yang terus mengaliri kolam.
Aku berjalan menghampirinya, namun ibu kembali memanggilku. Suara ibu terdengar semakin keras dan terasa lekat di telingaku. “Dari tadi ibu memanggilmu, tapi rupanya tidurmu terlalu nyenyak”, ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk pelan. Kulihat ibu masih terbaring di atas ranjang putih dengan jarum infus yang tertancap di punggung tangannya.
###

Aku duduk termenung di depan pavilyun melati, tempat ibuku dirawat. Ibu masih terlelap. Banyak orang yang lalu lalang di hadapanku, namun tak satu pun yang mampu mengalihkan rasa gundahku. Kusilangkan kaki kiriku di atas kaki kananku dan kulipat kedua lenganku di depan dada seraya menyendarkan punggung di kursi. Aku kembali teringat mimpi itu, mimpi yang belum bisa kutafsirkan.
Kutebar pandanganku, namun tak ada sesuatu yang mampu menarik perhatianku, hingga ia melintas di depanku. Tatapanku terkunci padanya. Seketika jantungku berdebar kencang, wajahku terasa panas, dan tubuhku serasa lumpuh mendadak. Aku yakin ia tersenyum padaku, meski separuh wajahnya tertutup masker, itu yang kulihat dari lipat garis tawa di matanya. Kakiku serasa terpasung, hingga aku ak mampu menggerakkan kakiku meski aku ingin berlari mengejarnya.
Dia begitu cepat lenyap dari pandanganku. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong Rumah Sakit, namun tetap tak berhasil menemukannya. Aku mulai putus asa, namun kupaksa untuk terus melangkah hingga suara cipak-cipak air itu menghentikanku. “Jangan main air, ilmi!”, teriak ibu muda itu seraya menggendong paksa bocah itu, menjauhkannya dari kolan ikan di depan pavilyun anggrek.
Aku terkejut! Kuamati kolam itu. Ya, kolam ikan dan pancuran air kecil, dengan bunga mawar beraneka warna yang mengitarinya. “Aku merasa pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya”, batinku. Di sini . . . Entahlah, seperti ada energi di luar diriku yang yang menarikku dan menahanku pergi. Untung aku cepat teringat pada ibu yang sedang terbaring sendiri di kamar.
Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan ibu. Namun, seketika jantungku berdebar hebat saat suara-suara itu mulai membuntutiku, mengejarku. Itu suara yang akrab di telingaku. Kutantang nyaliku untuk melirik ke belakang, dan Ups! Mereka hampir saja menabrakku! Untung aku cepat menghindar. “Maaf”, ujar salah satu diantaranya. Seorang pria setengah baya terbaring, berjuang melawan rasa sakit. Wajahnya berlumuran darah dan tulang kakinya menyembul keluar. Mereka mendorongnya dengan tergesa-gesa menuju ruang operasi.
Akhirnya aku sampai di depan apotik, kira-kira 10 meter dari ruang rawat inap ibu. Bau menyengat itu menyusupi lubang hidungku. Bau yang mengingatkanku . . . Ah! Segera kutepis bayangan mimpi itu lagi.
“Dari mana saja kau, nak?”, tanya ibu saat melihatku memasuki ruangan.
“Jalan-jalan, Bu”, jawabku singkat.
Dokter Yusuf masih memeriksa kondisi ibu.
“Bagaimana keadaan ibu, Dok?”
“Trombositnya sudah naik, besok sudah boleh pulang”, jawabnya sambil tersenyum seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.
“Ibu, kenapa bukan Gadis saja yang sakit?”, tanyaku dengan sedih.
“Jangan bicara seperti itu, Gadis”, jawab ibu. “bukankah kau sudah lebih dulu merasakan sakit ini, nak?”
“Maksud ibu?”
“Kau lupa, dulu kau pernah dirawat disini, karena penyakit yang sama dengan ibu”, jelasnya. “pasti kau tak ingat lagi, karena waktu itu usiamu baru lima tahun . . .”
###
  
Kulingkarkan lengan kananku pada lengan ibu, sementara tangan kiriku menenteng tas besar berisi baju-baju Ibu. Yah, akhirnya Ibu harus meninggalkan kamar ini, tepat di hari ke tujuh. Tapi entahlah, ada sesuatu yang membuatku merasa sedih di saat-saat membahagiakan ini. “Gadis . . .”, ibu sempat menangkap kesedihanku, namun aku cepat menutupinya dengan senyum lebarku.
“Nah, itu tempat kau di rawat dulu”, ujar ibu seraya mengarahkan jari telunjuknya pada sebuah ruangan, di pavilyun Anggrek. Aku terhenyak! Ingatanku pun tiba-tiba melayang pada kenangan masa kecilku. Aku sudah mengingat semuanya! Ya, sesuatu yang telah lama tersimpan dan terlupakan. Senyumku pun mengembang. Kenangan yang manis, sangat indah, namun aku terlalu malu untuk mengingatnya hingga semua hilang, terkubur oleh waktu. “Ayo, Gadis!”, ibu menarik lenganku, memaksaku kembali melangkah.
Suara-suara iu terdengar masih terdengar masih beberapa meter di depanku. Namun, langkahnya yang memburu asa, membuat waktu tak lagi terukur oleh jarak. Tiba-tiba saja mereka sudah berada di hadapanku! Kali ini, tak ada lagi rintih kesakitan atau luka yang menganga. Hanya seorang bocah yang tergolek lemah, entah laki-laki atau perempuan. Kepalanya plontos, wajahnya putih pucat, matanya terpejam rapat, dan tubuhnya seperti membeku. Tak ada tetes air mata, meski gurat kesedihan terlihat nyata di mata Ibu berkerudung hijau yang mendampinginya. Mereka berlalu dengan cepat, namun sepasang mata yang kukenal itu kembali mengikat pandanganku. Dia ada diantara mereka!
Aku melepas gandenganku pada ibu. Ibu tampak bingung, namun aku tak memiliki banyak waktu untuk menjelaskannya. “Tunggu Gadis disana, Bu!”, tunjukku pada sebuah bangku kosong di depan mushola Rumah Sakit.
Aku mengikuti mereka dari belakang. Mereka berjalan menuju Pavilyun Melati. Benar dugaanku, bocah itu menempati bekas kamar ibu yang masih kosong. Beberapa menit kemudian mereka keluar. Aku berpapasan dengannya. Ia sempat melihat ke arahku, tetapi tetap membisu dan segera berlalu dari hadapanku. Namun, aku menahannya.
 “Gadis”, ucapku seraya mengulurkan tanganku padanya.
Dia terkejut dan memandangku dengan heran. Lalu, ia melepaskan masker yang menutupi separuh wajahnya. Jantungku berdebar kencang, tak beraturan. Ia terlihat jauh lebih muda dari usianya!
“Kau masih mengenaliku?”, tanyaku dengan ragu.
Ia mengernyit dan mengangguk kemudian.
“Jadi, kau masih mengingatku?!”, sorakku.”mungkin karena wajah Gadis kecil tak pernah berubah . . .”
Aku tertawa kecil.
“Aku bocah kecil yang dulu pernah kau rawat, pasien Demam Berdarah, di Pavilyun Anggrek”, lanjutku mengingatkannya. “aku tak tahu namamu, bahkan aku tak pernah tahu siapa kau. Aku hanya ingat tatapanmu, juga bagaimana kau merawat dan memperlakukanku dengan penuh kasih, dua belas tahun yang lalu”
Ia menatapku heran, dahinya mengkerut dan kedua alisnya menyatu. Bibirnya sedikit terbuka. Ia ingin mengatakan sesuatu namun aku mendahuluinya.
“Kau satu-satunya pria yang berhasil menumbuhkan harapan dan impian masa kecilku tentang cinta, selain untuk Ibuku . . .”
Ia tersenyum. “Kau yang kemarin duduk di sini, kan?”, tanyanya sambil menunjuk kursi kayu bercat putih di depan ruang rawat inap ibu.
Aku mengangguk dengan malu.
“Lana, Maulana Muhammad”, ujarnya seraya menjabat hangat tanganku. “maaf, tapi saya baru tiga tahun bekerja di sini sebagai perawat”.
Aku menggeleng dengan cepat sambil menggenggam erat tangannya. Bibirku terkunci dan nafasku tertahan, “itu nama yang selalu kupanggil dalam mimpiku!”, jeritku dalam hati.

Monday, June 21, 2010

Nirmala, gadis manis itu terjaga dari lelapnya. Garis-garis cahaya keemasan masuk dari lubang-lubang kecil, mirip santan yang mengucur dari pori-pori saringan kain yang halus. Menerangi seisi gua. Cahayanya memantul-mantul di dinding gua, seperti butir-butir kristal yang menua. Nirmala menggeliat, dengan senyum mengembang. Lalu secepat kilat ia melompat dari ranjang rapuhnya. Kretekk. . . bunyi khas dari ranjangnya yang terbuat dari anyaman ranting pohon mahoni.

Mala melongok, melihat keluar gua, lehernya memutar ke kanan dan kiri. Terperanjat ia kemudian, teringat akan sesuatu. “Owh! Sayapku!”, teriaknya. Ia berlari masuk, mencari sepasang sayapnya. Namun hanya satu sayap yang tersisa, tergeletak tak jauh dari ranjang reyotnya. Raut kekecewaan tergambar jelas dari wajahnya, pipi ranumnya menurun, warna merah jambunya pun memudar. Lalu berlari ia ke tengah hutan, mencari Oling, manusia setengah iblis yang selalu menyelinap masuk dalam gua dan mencuri sesuatu di malam buta. Namun Oling telah pergi, bersama dengan menguapnya embun pagi. Sudah terlambat! Harus menunggu satu malam purnama lagi untuk menjumpainya.

Huff . . . dan Mala tak punya banyak waktu, ia ingin berjumpa dengan Altamis, pujaan hatinya di negeri seberang. Negeri impian yang tersembunyi di balik angin, dan gerbangnya hanya dapat diterobos dengan kepakan sepasang sayapnya yang hilang. Sayap yang terbuat dari untaian air mata sang kekasih dan nyawa angin timur yang tak pernah habis hembusannya. Namun Oling telah merebutnya, dan Mala tak mampu memenuhi janjinya untuk bertemu sang kekasih. Jauh di sana, Altamis telah menantinya. Terpekur ia di bawah pohon abadi, berdiri dengan penuh harap. Bunga-bunga berguguran setiap kali ia menghembuskan siulan kekecewaan dari bibirnya yang bulat. Nirmala dan Altamis, cinta dua alam, teriris oleh rindu yang tajam.