Tuesday, June 22, 2010

Bayang - Bayang Hilang


 Terik mentari menyengatku, membakar separuh wajahku. Aku terbangun dan kudapati diriku telah tergeletak di tengah hamparan tanah kering yang tak berujung. Tak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali detak jantungku dan nafasku yang kusadari masih berhembus. Aku berteriak! Memanggil-manggil sebuah nama yang tak kukenal. Entah siapa dia. Sungguh! Aku tak tahu siapa yang sedang kupanggil, meski aku merasa sangat membutuhkannya saat ini.
Aku berlari, terus berlari! Tapi, tak kutemukan apa yang kucari, dan aku pun tak tahu apa yang sesungguhnya kuinginkan dari apa yang kucari. Pulang! Aku ingin pulang, tapi aku tak tahu kemana kakiku harus melangkah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk berhenti, menunggu seseorang yang menemukanku, menyelamatkanku.
Air itu menitik dari ujung mataku. Kuusap beberapa kali, namun aku tak berhasil menghentikannya. Kubentangkan tanganku seraya menghirup udara dalam-dalam, namun debu-debu terlanjur menyumbat lubang hidungku sebelum angin kecil itu berhasil menerobos masuk. Kubaringkan tubuhku di tanah –dengan tangan yang masih membentang –kuperlebar rongga paru-paruku. Punggungku bersentuhan dengan retakan-retakan tanah yang kering, keras, dan kasar. Mataku terpejam, meski tak tertidur. Dan di tengah kesadaran penuhku, aku kembali meneriakkan namanya.
Seketika kurasakan keteduhan. Kubuka mataku perlahan, kulihat langit tak lagi berwarna merah menyala. Langit telah berubah menjadi biru segar dengan taburan kapas-kapas putih, namun tak ada perubahan yang berarti pada diriku. Aku tetaplah aku yang tak kukenal, yang selalu memanggil-manggil dia yang juga tak kukenal.
Aku kembali memejamkan mata dan berharap dia akan menemukanku saat aku terjaga. Tapi, aku sungguh-sungguh tak dapat terlelap! Rohku seakan tak ingin sejenak meninggalkan ragaku, meski aku berharap ia takkan pernah kembali. Aku ingin mati! Tapi, aku ingin jelas-jelas mati!! Bukan mati dalam hidup, atau hidup dalam mati.
Kupanggil namanya sekali lagi, namun hanya dalam hati. Tiba-tiba, kudengar langkah kaki yang mendekatiku. Langkah yang tenang dan teratur. Dia melangkah tanpa keraguan. Semakin dekat dan dekat, sangat dekat. Kini, ia telah berada tepat di belakangku. Ia menghentikan langkahnya. Bayangan tubuhnya membenami tubuhku dan kurasakan hembusan nafasnya yang hangat di tengkukku. Tapi, aku tak berani mebalikkan tubuhku. Ia menyentuh pundakku dengan lembut, berusaha meyakinkanku meski tak sepatah katapun yang kudengar dari bibirnya. Ia tak menyakitiku! Ia hanya menungguku melihat ke arahnya.
Apakah dia yang selalu kupanggil namanya?!, tanyaku dalam hati. Kulihat bayangannya, ia mengangguk, menjawab keraguanku. Aku tersenyum dan memberanikan diri untuk membalikkan badan, dengan mata terpejam. Kini, aku telah berhadapan dengannya. Hembusan nafasku dan nafasnya beradu. Kubuka mataku perlahan. Wajah itu! Aku hampir mengenalinya, namun kabut tipis itu terlanjur menutupi sebagian wajahnya. Aku tak berhasil mengenalinya! Tak bisa! Wajahnya semakin tak terlihat olehku dan aku tak mampu lagi mengingat wajahnya.
Ia membantuku berdiri. Tangannya kokoh, namun penuh kelembutan. Halus, tangannya selembut sutera. Mataku menyusuri setiap jengkal tubuhnya. Ia pria yang sempurna. Badannya tinggi dan tegap. Kulitnya putih bening, namun tak tampak pucat. Seluruh tubuhnya berbalut kain sutera putih. Ia nyata di hadapanku, meski wajahnya selalu tersembunyi.
Ia mundur selangkah dariku, genggamannya pun terlepas dari tanganku. Kulihat setangkai mawar merah yang merekah di genggaman tangan kanannya, sementara di genggaman tangan kirinya tampak sesuatu yang jernih berkilauan. Ia memberiku mawar dan segenggam air. Aneh! Air itu sama sekali tak merembes dari sela-sela jariku. Ia menunjuk pada hamparan tanah kering disekitarku. Lalu bisiknya, “tancapkan mawar ini di sana dan siramkan air ini. Jangan pernah percaya pada apapun yang kau lihat dan kau dengar setelah kepergianku, karena mawar itu akan melukaimu!”. Ia menghilang, sebelum aku sempat mempertanyakan maksud ucapannya.
Kupandangi mawar dan air pemberiannya. Lalu kubungkukkan badanku. Kuputuskan untuk menuruti perintahnya, karena hanya ia yang mampu mendengar panggilan hatiku. Tapi, tiba-tiba ia memanggilku, sesaat sebelum mawar itu berhasil kutancapkan. “Gadis . . .”, panggilnya. Ia memanggilku Gadis! Akhirnya ada juga yang mengenaliku. Namun. Aku tak berani melihat ke arah suara wanita itu, karena aku teringat pesan pria misterius itu. “Buang mawar itu! Mawar itu seperti iblis!”, seru wanita itu. “Ia hanya indah sesaat, namun meninggalkan luka abadi! Lihat apa yang terjadi denganku dan mereka karena mawar itu! Lihat ini, sebelum kau menyesal!!”
            Kuputar leherku dengan ragu. Wanita tua itu mendekatiku, jalannya terseok. Ia mengenakan gaun putih yang menjuntai hingga ujungnya menyentuh tanah. Lambat laun, kulihat beberapa wanita muda yang membuntutinya. Mereka mengenakan pakaian yang serupa dengan wanita tua itu. Dua, tiga, lima, semakin banyak dan bertambah banyak, hingga aku tak mampu lagi menghitungnya. Mereka menghentikan langkahnya, beberapa meter dariku. Dan aku mulai mengenali raut wajah wanita tua itu..
“Ibu!”, teriakku. Entah bagaimana aku mampu mengenalinya sebagai ibuku, sedangkan aku tak berhasil mengenali diriku sendiri?!
“Kau benar-benar Ibuku?!”
Ia mengangguk dan berjalan menghampiriku. Kini, ia tepat berada satu meter di depanku. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan memerah.
“Lihat apa yang dilakukan mawar merah itu padaku!”, teriaknya dengan marah seraya memperlihatkan kedua telapak tangannya padaku.
Mataku terbelalak, mulutku menganga. Kulihat tangan ibuku hancur, penuh sayatan benda tajam, dan lukanya belum mengering. Aku menghampirinya, duri-duri mawar itu masih tetancap, tersebar di kedua telapak tangannya.
“Keindahan mawar itu telah sirna, hanya duri-duri ini yang tersisa untukku, sang pemuja mawar merah. Apakah ini yang sesungguhnya kau inginkan?!”, seru Ibu.
Aku terdiam.
“Lihat mereka, Gadis!”, ujar ibu seraya mengarahkan jari telunjuknya pada barisan ratusan wanita muda yang berjajar di belakangnya. Aku tak dapat melihat muka wanita-wanita itu, karena mereka terus menunduk. Hanya tangis pilu yang kudengar dan darah segar itu mengalir deras dari telapak tangan mereka.
Aku mundur beberapa langkah, berlari menjauhi mereka. Ibu terus memanggilku, namun aku tak ingin mendengarnya. Aku berlari dan terus berlari, hingga terhenti karena lelahku. Mawar dan air jernih itu masih kugenggam, namun aku semakin ragu. Aku berharap tak pernah percaya dengan apa yang dikatakan dan diperlihatkan ibu. Aku hanya ingin percaya pada mawar merah itu, tapi duri-durinya telah melukai mereka. Aku marah, meski hatiku tak pernah berhenti memanggil-manggil namanya, dia yang memberiku setangkai mawar dengan senyuman hangatnya.
Kucampakkan mawar merah itu di tanah kering. Bunga itu begitu cepat layu dan kering begitu tersentuh tanah. Ia hancur dan lenyap kemudian, namun duri-durinya terlanjur tertancap dan mengoyak telapak tanganku. Air dalam genggamanku pun mengering dalam sekejap. Kini, hanya perih yang tersisa. Ya, apa yang terjadi pada ibu dan wanita-wanita malang itu akhirnya terjadi juga padaku. Benar kata Ibu! Benar kata mereka!! Dia pembohong! Mawar merah itu benar-benar iblis . . .!!! Aku berteriak histeris.
Tiba-tiba dia muncul di hadapanku, namun ia menjauh setiap kali kakiku melangkah mendekatinya. Semakin kudekati, ia semakin menjauhiku. Aku menghentikan langkahku, tapi ia tetap menjauh. Ia pergi meninggalkanku, menghilang entah kemana. Tak kudengar lagi langkahnya dan tak kutemukan bekas tapaknya. Ia juga tak pernah datang, meski aku telah berulang kali memanggilnya.
Aku menangis, hanya bisa menangisi dia yang selalu kucari dan kuragukan. Mataku kering, kepalaku pening, dan hatiku hening. Namun, aku tak pernah berhenti memanggil namanya, hingga kurasakan tangan itu menepuk-nepuk pipiku. Aku terbangun dan kulihat ibu duduk di sampingku. Nafasku masih terengah-engah dan aku tak ingat lagi siapa yang selalu kupanggil. “Kau pasti mimpi buruk lagi, sayang . . .”, ujar ibu seraya tersenyum dan membelai rambutku dengan lembut.
###

Aku duduk di teras depan rumah. Kusandarkan punggungku pada kursi bambu, dengan kedua tangan yang kusatukan di belakang kepala. Kupandangi langit pagi itu, tampak cerah dan bersahabat. Langit itu mengingatkanku pada mimpi semalam. Yah, ini langit yang sama! Biru segar dengan taburan kapas-kapas putih! Aku masih mengingat mimpi itu dengan sempurna, kecuali dia! Aku menggeleng dengan cepat. Ibu sempat melirikku dan aku hanya tersenyum padanya.
Ibu tampak menikmati kesibukannya merawat tanaman. Oh, ibu, benarkah hanya itu yang sungguh membuatmu bahagia? Pandanganku tertahan pada sosok ibuku dan langit segar itu tak lagi menarik bagiku. Ibu terlihat semakin tua, jauh berubah dari tiga tahun yang lalu. Kulit wajahnya sudah turun, kerutan-kerutan halus di wajahnya tampak semakin nyata. Tubuhnya pun tidak seenergik dulu, meski semangat hidupnya tak sedikit pun berkurang dan kecantikannya tak pernah pudar.
 “Gadis . . .”, panggil ibu dengan raut keheranan. Aku terlalu asyik melamun hingga tak sadar, ibu yang sejak tadi menjadi objek pandanganku telah membalikkan badan dan berjalan menghampiriku. Sekali lagi, aku hanya bisa tersenyum. “:Kau baik-baik saja, nak?”, tanyanya. Aku mengangguk dengan cepat dan ibu pun berlalu dari hadapanku.
Hanya ibu yang selalu mengkhawatirkanku, menyayangiku, dan mencintaiku, begitu juga denganku. Semua hanya untuk ibu, karena hanya ibu yang mengajariku tentang ketulusan cinta. Dan ibu juga yang selalu mengingatkanku untuk berhati-hati dengan makhluk yang bernama laki-laki. Semakin rupawan, semakin berbahaya, begitu ingatnya setiap saat.
Dan Ayah, nama itu begitu asing di lidahku hingga aku takut salah mengejanya. Yah, aku terakhir memanggilnya tiga belas tahun yang lalu, saat usiaku belum genap empat tahun. Dia laki-laki pertama yang mengenalkanku pada rasa sakit, meski aku baru benar-benar merasakannya saat usiaku merangkak remaja, saat ku putuskan untuk tidak lagi meridukannya dan menjalani hidup tanpa cinta seorang laki-laki.
Seperti ibu, dia yang tak pernah mencintai laki-laki selain ayahku. Dan ia yang tak pernah membuka hatinya setelah kepergian ayah, entah karena begitu cinta atau begitu sakit. Aku masih ingat bagaimana kesedihan ibu, tahun demi tahun, sejak ayah meninggalkannya demi wanita itu! Wanita yang tidak layak di sejajarkan dengan ibu, meski keindahan ragawinya selalu mengundang decak kagum kaum adam. Aku masih terlalu kecil saat itu. Aku hanya bisa melihat, mendengar, dan merekam semuanya dalam ingatan masa kecilku, dan baru mampu mengartikannya ketika kedewasaaanku mulai terbentuk dan terasah oleh waktu.
Aku membenci laki-laki, laki-laki yang tak pernah puas dengan satu perempuan! Mereka layaknya serigala liar yang selalu meneteskan air liurnya setiapkali melihat daging merah segar yang menggiurkan. Tapi, ia tak tampak seperti serigala. Pikiranku melayang dan aku kembali teringat mimpi semalam. Tentang dia, mawar itu, juga ibu dan wanita-wanita itu, sangat mengerikan. Hanya dia yang membuatku tenang, tapi ia meninggalkanku setelah menyakitiku dengan mawarnya!
Ah! Bagaimana mungkin aku merindukannya, sementara aku sangat membenci laki-laki! Uughh . . . aku bingung dengan semua ini! Aku berteriak dalam hati seraya menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tapi, siapa dia?! Aku mulai membuka memoriku tentang mimpi-mimpiku yang lalu, namun aku tak ingat lagi bagaimana alur setiap episode mimpiku dengannya.
Bola mataku berputar, mengikuti putaran otakku. Dia laki-laki yang selalu kuimpikan hampir di setiap lelapku. Dia yang selalu melihatku dari kejauhan dan tersenyum setiapkali kuhampiri, namun segera menghilang dengan cepat setiapkali jariku hampir menyentuh wajahnya yang selalu tersembunyi. Aku hanya mengingat matanya. Mata milik dia yang selalu kupanggil namanya.
###

Tubuhku mengayun ke depan dan belakang. Jari-jariku mencengkeram tali tampar yang mengikat kuat lempengan kayu itu pada sebuah pohon tua, hingga aku bisa duduk dengan nyaman tanpa takut terjatuh. Sementara, kakiku bergerak lincah mengayuh angin. Hembusannya mendorong tubuhku dari belakang, hingga ujung hidungku yang menjulang nyaris menyentuh awan putih yang menggelayut manja di langit. Namun, ia segera menghempaskanku ke tanah sebelum kepalaku berhasil menyembul ke balik awan. Selalu begitu! Ia terlalu pandai mempermainkanku dengan tiupan-tiupan kencangnya yang berdebu.
Bunga-bunga bermekaran, melambai-lambai tertiup angin, seolah menyapaku. Tubuhku terus mengayun, ujung kakiku beberapa kali menyentuh kelopaknya, hingga aku tak sengaja menjatuhkannya dari tangkainya. Tiba-tiba, kudengar ibu memanggilku, dari atas bukit. Kujejakkan kakiku di tanah dan tubuhku pun berhenti mengayun. “Gadis . . .”, sekali lagi kudengar panggilan ibu.
Aku segera berlari menaiki bukit, menghampiri ibu. Namun, ia tak kujumpai di sana. Nafasku berpacu dengan detak jantungku. Aku duduk bersandar di bawah pohon seraya meluruskan kedua kakiku yang letih setelah berlari. Pohon tua itu terlihat jelas dari atas bukit. Tampak kokoh di tengah taman bunga yang mengitarinya. Sangat indah. Ribuan mawar beraneka warna itu bermekaran, tertata apik, seperti permadani. Dan kulihat ayunan kayuku bergerak sendiri diterpa angin.
Tapi, dalam sekejap, bayangan hitam itu menutupi pandanganku! Tak jelas bagaimana wujud dan rupanya, namun ia berhasil membuatku merasa sangat terancam. Kakiku menjejak-jejak di tanah, tetapi tubuhku tak juga terdorong ke belakang, karena terhalang pohon. Oh! Aku mulai bisa melihat bentuknya! Tinggi, besar, gempal, dengan tangan dan kaki yang berotot. Sekujur tubuhnya hitam tanpa rupa, sangat menyeramkan.
Ia mendekatiku, seperti hendak menerkamku. Untungnya aku berhasil menggulingkan tubuhku ke samping dan segera berlari menjauhinya. Aku terus berlari, meski lelahku terasa kian menghimpit. Ia masih mengejarku, langkahnya terdengar semakin mendekatiku, tapi aku sudah tak punya kekuatan lagi. Aku terjatuh, lututku membentur tanah dengan keras dan darah segar mengucur dari kulitku yang tergores. Kuhimpun sisa-sisa tenagaku, kuandalkan kekuatan tanganku untuk merangkak menjauhinya, namun aku terlalu letih. Dan akhirnya aku menyerah. Aku tertunduk dengan mata terpejam rapat. Ia memegang bahuku dengan kedua tangannya dan memaksaku berdiri. Aku berontak! “Lepaskan aku!”, teriakku. Kuberanikan diri untuk melihatnya. Aku terkejut! Ternyata dia yang menangkapku. Ya, ia yang selalu kupanggil namanya.
Ia menggenggam pergelangan tangan kiriku dengan tangan kanannya dan memaksaku mengikutinya. Beberapa kali aku melihat ke belakang, namun bayangan itu tak lagi mengejarku. Ia menghilang dengan tiba-tiba, seperti saat ia datang. Aku tak tahu kemana ia akan membawaku. Ia terus melangkah, tanpa berucap apapun padaku. Dan entah mengapa aku tak berselera melawannya, seperti yang kulakukan saat bayangan hitam itu hendak menangkapku.
Dia berhenti tepat di tepi telaga biru dengan rumput-rumput liar yang mengelilinginya. Cahaya matahari jatuh memantul-mantul di atas telaga yang jernih, menyerupai butir-butir kristal yang indah. Ia melepaskan genggaman tangannya dari pergelanganku dan berbaring tepat di tepi telaga, hingga ujung kakinya menyentuh air. Ia menyipak-nyipak air telaga dengan kakinya. Entah apa yang dilakukannya, namun aku terdorong untuk mengikutinya. Aku berbaring tepat di sampingnya dan kuikuti apapun yang dilakukannya. Ia melilhat ke arahku, ujung hidungnya menyentuh pipiku, namun ia menghilang sebelum aku sempat melihat wajahnya.
Aku terbangun. Rupanya aku terlalu lelah, hingga tertidur di tepi telaga. Aku melihatnya dan ternyata ia benar-benar menghilang. Ia meninggalkanku! Aku beranjak. Tak ada yang berubah dari telaga itu, tetap jernih dengan butir-butir kristal yang berkilauan. Tiba-tiba, kudengar cipak-cipak air. Aku tersenyum dan berharap dia tak benar-benar pergi. Kuputar leherku ke arah suara itu, tapi hanya kutemukan katak-katak hijau yang melompat dari atas batu menuju telaga.
Aku berteriak-teriak memanggilnya, namun ia tak datang. Dan kembali kudengar ibu memanggilku. Kutinggalkan telaga tenang itu dan berjalan menuju arah suara ibu. Kusibak semak, dan belukar-belukar itu membasahiku dengan bulir-bulir embun yang menggenangi ujung-ujung daunnya.
Sunyi kembali menyergap dan langkah itu kudengar lagi. Langkahnya cepat. Aku melihat ke belakang, melalui ujung mataku. Bayangan hitam itu mengejarku dengan langkah lebar. Kupercepat laju kakiku dan sampailah aku di sebuah padang rumput. Ribuan rumput liar dengan bunga-bunga kapas menyambutku, mengibas-ngibas wajahku dengan bulu-bulunya yang lembut. Ia semakin mendekatiku. Tangannya terus menggapai-gapai ke arahku, bahkan ujung jarinya beberapa kali telah menyentuh punggungku. Untung aku cepat menemukan pintu itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada sebuah pintu kayu di hadapanku. Sebuah pintu tanpa rumah! Pintu yang reyot dan lapuk. Tanpa pikir panjang, kubuka pintu itu. Krieeekkk... bunyi engsel pintu itu menunjukkan betapa lama pintu tak terbuka, dan aku pun berhasil lolos dari kejarannya!
Pintu itu menghubungkanku pada sebuah ruangan hampa yang serba putih. Sebuah ruangan tanpa batas! Sudah ribuan kali kakiku melangkah. Ke depan, ke belakang, ke samping, kemanapun! Namun tak kutemukan ujungnya. Aku tak dapat menyentuh dan melihat apapun kecuali PUTIH. Bahkan, langkahku serasa melayang di atas PUTIH. Semua serba putih. Putih terang, tanpa tekstur. Tak kutemukan apapun yang dapat kulihat dan kusentuh. Hanya suara-suara itu yang terdengar riuh di telingaku. Suara tapak-tapak kaki yang beradu dengan waktu, juga benda-benda yang menggelinding cepat di lantai. Sesekali, kudengar teriakan-teriakan histeris dan rintih kesakitan.
Aku limbung dan seketika bau menyengat itu menusuk hidungku. Kuikuti arah bau itu, namun aku tak menemukan apa-apa, kecuali PUTIH. Aku menangis sambil terus memanggil namanya, hingga akhirnya langkahku membentur sebuah dinding yang tak terlihat. Kuraba dan kurasakan teksturnya. Kutemukan sebuah benda yang menempel di dinding, mirip gagang pintu! Yeah! Akhirnya aku menemukan jalan keluar! Kukait gagang pintu itu, dan aku pun berhasil keluar. Ada dia di sana. Ia duduk di sebuah kursi kayu yang menghadap ke kolam ikan, dengan rumput-rumput hijau dan bunga warna-warni yang terhampar di setiap sisinya, juga pancuran air yang terus mengaliri kolam.
Aku berjalan menghampirinya, namun ibu kembali memanggilku. Suara ibu terdengar semakin keras dan terasa lekat di telingaku. “Dari tadi ibu memanggilmu, tapi rupanya tidurmu terlalu nyenyak”, ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk pelan. Kulihat ibu masih terbaring di atas ranjang putih dengan jarum infus yang tertancap di punggung tangannya.
###

Aku duduk termenung di depan pavilyun melati, tempat ibuku dirawat. Ibu masih terlelap. Banyak orang yang lalu lalang di hadapanku, namun tak satu pun yang mampu mengalihkan rasa gundahku. Kusilangkan kaki kiriku di atas kaki kananku dan kulipat kedua lenganku di depan dada seraya menyendarkan punggung di kursi. Aku kembali teringat mimpi itu, mimpi yang belum bisa kutafsirkan.
Kutebar pandanganku, namun tak ada sesuatu yang mampu menarik perhatianku, hingga ia melintas di depanku. Tatapanku terkunci padanya. Seketika jantungku berdebar kencang, wajahku terasa panas, dan tubuhku serasa lumpuh mendadak. Aku yakin ia tersenyum padaku, meski separuh wajahnya tertutup masker, itu yang kulihat dari lipat garis tawa di matanya. Kakiku serasa terpasung, hingga aku ak mampu menggerakkan kakiku meski aku ingin berlari mengejarnya.
Dia begitu cepat lenyap dari pandanganku. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong Rumah Sakit, namun tetap tak berhasil menemukannya. Aku mulai putus asa, namun kupaksa untuk terus melangkah hingga suara cipak-cipak air itu menghentikanku. “Jangan main air, ilmi!”, teriak ibu muda itu seraya menggendong paksa bocah itu, menjauhkannya dari kolan ikan di depan pavilyun anggrek.
Aku terkejut! Kuamati kolam itu. Ya, kolam ikan dan pancuran air kecil, dengan bunga mawar beraneka warna yang mengitarinya. “Aku merasa pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya”, batinku. Di sini . . . Entahlah, seperti ada energi di luar diriku yang yang menarikku dan menahanku pergi. Untung aku cepat teringat pada ibu yang sedang terbaring sendiri di kamar.
Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan ibu. Namun, seketika jantungku berdebar hebat saat suara-suara itu mulai membuntutiku, mengejarku. Itu suara yang akrab di telingaku. Kutantang nyaliku untuk melirik ke belakang, dan Ups! Mereka hampir saja menabrakku! Untung aku cepat menghindar. “Maaf”, ujar salah satu diantaranya. Seorang pria setengah baya terbaring, berjuang melawan rasa sakit. Wajahnya berlumuran darah dan tulang kakinya menyembul keluar. Mereka mendorongnya dengan tergesa-gesa menuju ruang operasi.
Akhirnya aku sampai di depan apotik, kira-kira 10 meter dari ruang rawat inap ibu. Bau menyengat itu menyusupi lubang hidungku. Bau yang mengingatkanku . . . Ah! Segera kutepis bayangan mimpi itu lagi.
“Dari mana saja kau, nak?”, tanya ibu saat melihatku memasuki ruangan.
“Jalan-jalan, Bu”, jawabku singkat.
Dokter Yusuf masih memeriksa kondisi ibu.
“Bagaimana keadaan ibu, Dok?”
“Trombositnya sudah naik, besok sudah boleh pulang”, jawabnya sambil tersenyum seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.
“Ibu, kenapa bukan Gadis saja yang sakit?”, tanyaku dengan sedih.
“Jangan bicara seperti itu, Gadis”, jawab ibu. “bukankah kau sudah lebih dulu merasakan sakit ini, nak?”
“Maksud ibu?”
“Kau lupa, dulu kau pernah dirawat disini, karena penyakit yang sama dengan ibu”, jelasnya. “pasti kau tak ingat lagi, karena waktu itu usiamu baru lima tahun . . .”
###
  
Kulingkarkan lengan kananku pada lengan ibu, sementara tangan kiriku menenteng tas besar berisi baju-baju Ibu. Yah, akhirnya Ibu harus meninggalkan kamar ini, tepat di hari ke tujuh. Tapi entahlah, ada sesuatu yang membuatku merasa sedih di saat-saat membahagiakan ini. “Gadis . . .”, ibu sempat menangkap kesedihanku, namun aku cepat menutupinya dengan senyum lebarku.
“Nah, itu tempat kau di rawat dulu”, ujar ibu seraya mengarahkan jari telunjuknya pada sebuah ruangan, di pavilyun Anggrek. Aku terhenyak! Ingatanku pun tiba-tiba melayang pada kenangan masa kecilku. Aku sudah mengingat semuanya! Ya, sesuatu yang telah lama tersimpan dan terlupakan. Senyumku pun mengembang. Kenangan yang manis, sangat indah, namun aku terlalu malu untuk mengingatnya hingga semua hilang, terkubur oleh waktu. “Ayo, Gadis!”, ibu menarik lenganku, memaksaku kembali melangkah.
Suara-suara iu terdengar masih terdengar masih beberapa meter di depanku. Namun, langkahnya yang memburu asa, membuat waktu tak lagi terukur oleh jarak. Tiba-tiba saja mereka sudah berada di hadapanku! Kali ini, tak ada lagi rintih kesakitan atau luka yang menganga. Hanya seorang bocah yang tergolek lemah, entah laki-laki atau perempuan. Kepalanya plontos, wajahnya putih pucat, matanya terpejam rapat, dan tubuhnya seperti membeku. Tak ada tetes air mata, meski gurat kesedihan terlihat nyata di mata Ibu berkerudung hijau yang mendampinginya. Mereka berlalu dengan cepat, namun sepasang mata yang kukenal itu kembali mengikat pandanganku. Dia ada diantara mereka!
Aku melepas gandenganku pada ibu. Ibu tampak bingung, namun aku tak memiliki banyak waktu untuk menjelaskannya. “Tunggu Gadis disana, Bu!”, tunjukku pada sebuah bangku kosong di depan mushola Rumah Sakit.
Aku mengikuti mereka dari belakang. Mereka berjalan menuju Pavilyun Melati. Benar dugaanku, bocah itu menempati bekas kamar ibu yang masih kosong. Beberapa menit kemudian mereka keluar. Aku berpapasan dengannya. Ia sempat melihat ke arahku, tetapi tetap membisu dan segera berlalu dari hadapanku. Namun, aku menahannya.
 “Gadis”, ucapku seraya mengulurkan tanganku padanya.
Dia terkejut dan memandangku dengan heran. Lalu, ia melepaskan masker yang menutupi separuh wajahnya. Jantungku berdebar kencang, tak beraturan. Ia terlihat jauh lebih muda dari usianya!
“Kau masih mengenaliku?”, tanyaku dengan ragu.
Ia mengernyit dan mengangguk kemudian.
“Jadi, kau masih mengingatku?!”, sorakku.”mungkin karena wajah Gadis kecil tak pernah berubah . . .”
Aku tertawa kecil.
“Aku bocah kecil yang dulu pernah kau rawat, pasien Demam Berdarah, di Pavilyun Anggrek”, lanjutku mengingatkannya. “aku tak tahu namamu, bahkan aku tak pernah tahu siapa kau. Aku hanya ingat tatapanmu, juga bagaimana kau merawat dan memperlakukanku dengan penuh kasih, dua belas tahun yang lalu”
Ia menatapku heran, dahinya mengkerut dan kedua alisnya menyatu. Bibirnya sedikit terbuka. Ia ingin mengatakan sesuatu namun aku mendahuluinya.
“Kau satu-satunya pria yang berhasil menumbuhkan harapan dan impian masa kecilku tentang cinta, selain untuk Ibuku . . .”
Ia tersenyum. “Kau yang kemarin duduk di sini, kan?”, tanyanya sambil menunjuk kursi kayu bercat putih di depan ruang rawat inap ibu.
Aku mengangguk dengan malu.
“Lana, Maulana Muhammad”, ujarnya seraya menjabat hangat tanganku. “maaf, tapi saya baru tiga tahun bekerja di sini sebagai perawat”.
Aku menggeleng dengan cepat sambil menggenggam erat tangannya. Bibirku terkunci dan nafasku tertahan, “itu nama yang selalu kupanggil dalam mimpiku!”, jeritku dalam hati.

No comments:

Post a Comment