Monday, June 21, 2010

Nirmala, gadis manis itu terjaga dari lelapnya. Garis-garis cahaya keemasan masuk dari lubang-lubang kecil, mirip santan yang mengucur dari pori-pori saringan kain yang halus. Menerangi seisi gua. Cahayanya memantul-mantul di dinding gua, seperti butir-butir kristal yang menua. Nirmala menggeliat, dengan senyum mengembang. Lalu secepat kilat ia melompat dari ranjang rapuhnya. Kretekk. . . bunyi khas dari ranjangnya yang terbuat dari anyaman ranting pohon mahoni.

Mala melongok, melihat keluar gua, lehernya memutar ke kanan dan kiri. Terperanjat ia kemudian, teringat akan sesuatu. “Owh! Sayapku!”, teriaknya. Ia berlari masuk, mencari sepasang sayapnya. Namun hanya satu sayap yang tersisa, tergeletak tak jauh dari ranjang reyotnya. Raut kekecewaan tergambar jelas dari wajahnya, pipi ranumnya menurun, warna merah jambunya pun memudar. Lalu berlari ia ke tengah hutan, mencari Oling, manusia setengah iblis yang selalu menyelinap masuk dalam gua dan mencuri sesuatu di malam buta. Namun Oling telah pergi, bersama dengan menguapnya embun pagi. Sudah terlambat! Harus menunggu satu malam purnama lagi untuk menjumpainya.

Huff . . . dan Mala tak punya banyak waktu, ia ingin berjumpa dengan Altamis, pujaan hatinya di negeri seberang. Negeri impian yang tersembunyi di balik angin, dan gerbangnya hanya dapat diterobos dengan kepakan sepasang sayapnya yang hilang. Sayap yang terbuat dari untaian air mata sang kekasih dan nyawa angin timur yang tak pernah habis hembusannya. Namun Oling telah merebutnya, dan Mala tak mampu memenuhi janjinya untuk bertemu sang kekasih. Jauh di sana, Altamis telah menantinya. Terpekur ia di bawah pohon abadi, berdiri dengan penuh harap. Bunga-bunga berguguran setiap kali ia menghembuskan siulan kekecewaan dari bibirnya yang bulat. Nirmala dan Altamis, cinta dua alam, teriris oleh rindu yang tajam.

No comments:

Post a Comment